TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Dalam posisi sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Prof Dr Mahfud MD SH, mendapat empat tugas khusus dari Presiden Jokowi yaitu penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, menyelesaikan persoalan hak asasi manusia (HAM), dan deradikalisasi.
Persoalan yang masih hangat ketika Mahfud MD diangkat menjadi Menkopolhukam yaitu aksi anarkisme dan gerakan separatisme di Papua. Aksi di Papua bukan hanya membawa kerugian materiil, tetapi juga hilangnya puluhan nyawa manusia.
Baca: Idham Azis Tak Kunjung Umumkan Kabareskrim Baru, Mahfud MD: Kapolri Sudah Tahu Orangnya
Mohammad Mahfud MD baru saja menerima tamu empat anggota Parlemen Selandia Baru, Rabu (20/11), sebelum menemui tim Redaksi Tribun Network. Pada pertemuan dengan orang asing itu Mahfud membahas soal Papua dan komitmen Indonesia dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
"Pelanggaran HAM itu menyangkut tiga hal yaitu yang terjadi di masa lalu, baru terjadi, dan bagaimana meminimalisir kejadian di masa mendatang. Kalau bisa menghindari pelanggaran HAM di masa depan katanya. Berikut lanjutan wawancara eksklusif dengan Mahfud MD di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta.
Anda merupakan orang sipil pertama yang menjadi Menkopolhukam. Apa maknanya orang sipil mendapat amanah sebagai Menkopolhukam?
Begini, saya membayangkan pada masa lalu Menkopolhukam dianggap sebagai pusat pengendalian pertahanan dan keamanan. Sifatnya lebih militeristik, karena pada waktu itu kan situasinya belum begitu baik.
Sekarang sudah lebih demokratis, sehingga munculnya orang sipil seperti saya yang dipentingkan adalah bagaimana melaksanakan visi dan program pemerintah. Saya ini nembak saja tidak bisa..ha...ha..ha.
Dulu ada orang hebat‑hebat (yang menjabat Menkopolkam). Ada Pak Sudomo (Laksamana TNI Sudomo), Pak SBY (Jernderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono), Pak Agum (Jenderal TNI Agum Gumelar), wah hebat‑hebat.
Baca: POPULER: Cerita Mahfud MD Tak Diberitahu Jokowi Saat Pilih Prabowo jadi Menhan hingga Kaget
Saya bukan orang hebat, tapi saya dipercaya oleh Presiden Jokowi. Tentu Presiden tahu apa yang dibutuhkan dunia polhukam ini. Lalu saya diberi amanah.
Saat Anda diangkat sebagai Menkopolhukam, kontroversi mengenai Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih berlangsung. Dalam konteks itu, apakah Anda dimintai pendapat atau memberikan saran kepada Presiden?
Tidak ada pesan khusus tentang itu. Pokoknya saya dininta meningkatkan upaya pemberantasan korupsi. Begitu pula soal undang‑undang terbaru (Undang-undang KPK), yang tengah menjadi kontroversial, tidak ada dipesankan kepada saya.
Sebelum diangkat menjadi menteri, saya sudah share (berbagi) pengalaman dan pendapat. Saya katakan ada kecenderungan orang menginginkan Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait KPK.
Tapi kan Perppu bukan satu‑satunya jalan. Karena ada orang lain yang menolak Perppu. Oleh sebab itu, saya katakan ada pilihan berupa legislatif review (peninjauan kembali UU di parlemen) atau judicial review (uji materiil terhadap undang-undang di MK).
Baca: Jadi Staf Khusus Presiden, Putra Papua Ajak Jokowi Bangun Indonesia dari Bumi Cenderawasih
Saya sendiri berada dalam kelompok yang mengusulkan Perppu. Sekali lagi Perppu bukan satu‑satunya. Dalam hidup bernegara itu, kalau ada banyak pilihan kan' harus ada yang memutuskan.
Sekarang Presiden sudah memutuskan tidak akan mengeluarkan Perppu, dalam konteks menunggu hasil judicial review di Mahkamah Konstitusi. Dari situ bisa dilihat nanti apakah perlu Perppu atau tidak.
Baca: Kunjungi Papua, Kepala BKKBN Tegaskan Tak Batasi Jumlah Anak
Atau mungkin pandangan masyarakat saat itu sudah bergeser, sudah berubah karena melihat perkembangan situasi. Kita lihat, tetapi intinya pemberantasan korupsi harus segera dikonsolidasikan agar lebih menguat.