TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Pengacara korban Frist Travel (FT), Luthfi Yazid mengungkapkan beberapa pertanyaan yang patut diajukan oleh 63 ribu jamaah korban First Travel.
Ditegaskan, apa yang mereka dapatkan, 63 ribu jamaah FT yang telah mengumpulkan uangnya untuk umroh sebanyak Rp 900 M yang kini sisanya yang hanya Rp 25 M disita dan diserahkan ke negara berdasarkan kemutusan MA.
"63 ribu korban jamaah itu tak mendapatkan apapun. Setidaknya 3 hak fundamental mereka diabaikan oleh negara. Pertama, rights to respect. Apakah hak mereka untuk dihargai mereka dapatkan? Tidak ada sama sekali penghargaan terhadap mereka yang terus menerus memperjuangkan haknya ," ungkapnya dalam rilisya yang diterima tribunnews.com, Rabu (27/11/2019).
Baca: Sidang Putusan First Travel Ditunda, Kepala Humas PN Depok: Tunggu Majelis Selesai Musyawarah
Yang Kedua lanjut Yazid,rights to protect. Apakah hak-hak mereka, sebanyak 63 ribu korban tersebut terlindungi dan terproteksi?
Baca: Kuasa Hukum Korban First Travel Minta Negara Tanggung Jawab Berangkatkan Umrah
"Lagi-lagi juga tidak. Malah mereka meminta tolong kepada negara, namun justeru sisa assetnya yang Rp 25 M malah dirampas negara. Seolah-olah MA mengatakan: silahkan negara ambil uang rakyat meskipun tidak melakukan kesalahan atau kejahatan apapun," Yazid menegaskan.
Hal lainnya adalah terkait Rights to fulfill. Hak untuk dipenuhi hak-haknya, apakah 63 ribu korban tersebut hak-haknya dipenuhi sebagaimana menjadi mandate konstitusi?
Baca: Alasan TPUA Gugat Putusan Hakim soal Perkara First Travel: Pasal yang Dipakai Multitafsir
"Negara yang memiliki organ bernama pemerintah tidak menjalankan amanat konstitusi untuk memberikan perlindungan hak-hak fundamental warganya," ungkapnya.
Baca: Sejumlah Jemaah Korban First Travel Pingsan Dengar Hakim PN Depok Putuskan Sidang Ditunda
Dikutip dari laman kompas.com, penasehat hukum perusahaan perjalanan umrah First Travel mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwa aset First Travel dirampas negara. Hal itu diungkapkan Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Mukri kepada Kompas.com, Selasa (26/11/2019) lalu.
"Ada informasi yang kita dapatkan bahwa dari penasehat hukum mereka itu mengajukan PK. Penasehat hukum First Travel-nya ya," ungkap Mukri.
Menurutnya, terpidana dan keluarganya memang memiliki hak untuk mengajukan PK. Materi PK yang diajukan, kata Mukri, agar aset First Travel dikembalikan kepada para korban. "Materi atau substansi PK-nya dia (First Travel) pun menginginkan supaya aset-aset dikembalikan kepada jamaah," tuturnya.
Mukri mengatakan bahwa langkah itu memang lebih memungkinkan daripada pihaknya yang mengajukan PK. Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa jaksa tidak dapat mengajukan PK. Hal itu berdasarkan putusan MK sebelumnya.
Baca: Sejumlah Jemaah Korban First Travel Pingsan Dengar Hakim PN Depok Putuskan Sidang Ditunda
Diberitakan, Kejaksaan Agung memang berencana mengajukan PK dalam rangka mengembalikan aset korban First Travel kepada korban. Dengan adanya perkembangan terbaru itu, Kejaksaan Agung, katanya, akan menunggu kelanjutan proses PK tersebut.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) menguatkan vonis yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Depok dan Pengadilan Tinggi Bandung dalam perkara First Travel.
Baca: Sidang Putusan First Travel Ditunda, Kepala Humas PN Depok: Tunggu Majelis Selesai Musyawarah
Dalam putusan Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018 Tahun 2019 yang dibacakan pada 31 Januari 2019, majelis hakim yang dipimpin Andi Samsan Nganro memutuskan agar barang bukti yang disita dalam perkara tersebut dirampas untuk negara.