Agus menuturkan ada cara lain untuk menjerakan koruptor selain dihukum mati, yaitu dicabut hak politiknya.
"Lalu apakah ada yang lain? jawabannya banyak. misalnya, cabut saja hak politik seseorang,"
Jika seseorang dicabut hak politiknya akibat korupsi maka ia kehilangan kebebasan untuk menjadi pejabat negara lagi.
"Jadi kalau orang melakukan tindak pidana korupsi, dicabut hak politiknya, dia tidak boleh ikut menjadi anggota DPR, tidak boleh menduduki jabatan-jabatan politik yang strategis, karena kalau dicabut akibatnya tamat karir politiknya," tutur Agus.
Mencabut hak politik bisa jadi alternatif lain, karena menurut Agus, koruptor rata-rata berprofesi sebagai pejabat dan politisi.
"Karena koruptor kan rata-rata itu dua profesinya, satu pejabat dan dua politisi," ujarnya.
Selain itu, Agus juga menuturkan cara yang kedua yakni memberantas aset berharganya.
"Adalagi cara lain, yakni berantas saja asetnya! Jadi kalau orang korupsi, misal hukumannya 20 tahun, berantas saja asetnya, kan selama ini tidak ada," tutur Agus.
Salah satu alasan koruptor tetap kaya raya meski di penjara, karena asetnya masih tersimpan.
Meski begitu, menurut Agus masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk membuat jera koruptor.
Dan itu sudah ada secara eksplisit di undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Tapi instrumen itu masih banyak yang lain, walaupun itu secara eksplisit juga ada di Undang-undang Tipikor," ujarnya.
Agus pun menjelaskan melalui pasal 2 ayat 1 di UU Tipikor No. 20 tahun 2001.
Dalam UU itu, dikatakan sanksi pidana untuk tindak pidana korupsi itu minimal 4 tahun maksimal 20 tahun dengan denda minimal 1 miliar sampai 100 miliar.
"Jadi belum ada itu perampasan asetnya, di Pasal 2 ayat 1 di Tipikor No 20 tahun 2001," ujar Agus.
Namun menurutnya yang lebih penting adalah supaya bisa membuat para koruptor jera, bukan jenis hukumannya.
"Jadi sebenarnya tujuan penghukuman itukan jera ya biar orang tidak mengulangi lagi, bukan jenis hukumannya," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Maliana)