News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Omnibus Law

Omnibus Law RUU Cipta Kerja Tak Sesuai Prinsip, Buruh Beri Penolakan dan Ancam Demo Besar-besaran

Penulis: Nuryanti
Editor: Garudea Prabawati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Massa buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020). Tuntutan mereka meminta RUU Omnibus Law dibatalkan jika merugikan kelompok buruh mereka pun kecewa karena buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan draftnya. Tribunnews/Jeprima

TRIBUNNEWS.COM - Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menuai penolakan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Mereka mengaku akan menggelar demo besar-besaran jika RUU Cipta Kerja tersebut disahkan.

Presiden KSPI, Said Iqbal mengatakan, RUU tersebut tidak mencerminkan prinsip kepastian pekerjaan, jaminan pendapatan, dan kepastian jaminan sosial. 

"Karena tiga prinsip tadi tidak terdapat dalam RUU Cipta Kerja, maka KSPI menyatakan dengan tegas menolak RUU Cipta Kerja Omnibus Law," kata Iqbal di Jakarta, Minggu (16/2/2020), dikutip dari Kompas.com.

Baca: Draf Omnibus Law Cipta Kerja Sebut PP Bisa Cabut UU, Ini Respons dari Mahfud MD hingga Yasonna Laoly

Baca: PP Bisa Cabut UU dalam Draf Omnibus Law, Legislator Gerindra: Seharusnya Pemerintah Paham Regulasi

Pihaknya juga menilai RUU Cipta Kerja berpotensi membuat tenaga kerja asing buruh kasar atau unskill worker bebas masuk ke Indonesia.

Sehingga, jaminan sosial hilang, PHK dipermudah, dan hilangnya sanksi pidana untuk pengusaha.

KSP menilai upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) akan dihapus.

“Jika yang berlaku hanya UMP, maka upah pekerja di Karawang yang saat ini Rp 4,5 juta bisa turun menjadi hanya Rp 1,81 juta,” imbuhnya.

Ketua KSPI Said Iqbal (TRIBUNNEWS/ILHAM RIAN PRATAMA)

Menurutnya, dalam RUU tersebut tak menyeut denda bagi pengusaha yang terlambat membayar upah.

"Dampaknya, pengusaha akan semena-mena dalam membayar upah kepada buruh," jelas Said.

Selain itu,  pihaknya menilai RUU Cipta Kerja akan membuat sebagian hak pekerja hilang.

Diketahui, pesangon ada tiga komponen, yakni uang pesangon itu sendiri, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak.

Baca: Draf Omnibus Law, Pemerintah Bisa Ubah UU dengan PP, Mahfud MD Duga Salah Ketik: Nanti Saya Cek!

Baca: Mahfud MD Duga Pasal 170 Pada Draf RUU Omnibus Law Salah Ketik

Sementara dalam RUU Cipta Kerja, uang penggantian hak dihilangkan.

Sedangkan uang penghargaan masa kerja dari maksimal 10 bulan hanya menjadi 8 bulan.

"Bilamana RUU Cipta Kerja ini tetap dipaksakan disahkan, maka KSPI dan buruh Indonesia akan menggelar aksi besar-besaran secara nasional dan di daerah terus-menerus," katanya.

"Aksi besar akan dimulai saat sidang paripurna DPR RI yang akan membahas Omnibus Law ini," ungkap Said.

Massa buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020). Tuntutan mereka meminta RUU Omnibus Law dibatalkan jika merugikan kelompok buruh mereka pun kecewa karena buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan draftnya. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Diberitakan Tribunnews.com sebelumnya, Said Iqbal menyebut, pihaknya juga memprotes ketentuan yang menyebutkan besaran pesangon yang harus dibayarkan maskimal hanya 17 kali gaji.

Pihaknya menyebut, draf tersebut membebaskan penggunaan tenaga kerja outsourcing di semua jenis pekerjaan dengan jam kerja tak terbatas.

"RUU cipta kerja bolehkan karyawan kontrak dan outsourcing bebas. Itu nyambung ke yang sebelumnya, berarti hilangkan pesangon dong. Bu Menaker bilang ada sweetener 5 bulan. Kita enggak butuh itu, butuhnya job security dan salary security," kata Said, Minggu.

Baca: Fakta RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Bonus Pekerja Capai 5 Kali Gaji, Uang Penghargaan Dipangkas

Baca: Ketua MK Luruskan Pandangan Sejumlah Pihak Terkait RUU Omnibus Law

Lalu, RUU tersebut juga menyebut jam kerja yang dinilainya eksploitatif.

Draf Omnibus Law Cipta Kerja itu juga menyatakan penggunaan karyawan kontrak yang tak terbatas.

"Pekerja sakit. Pekerja yang dapat haid. UU 13 tahun 2003, 2 hari haid upah dibayar. Yang keluarga nikah, orang tua meninggal libur 1 hari tidak dipotong gaji. Di Omnibus law tidak dibayar," lanjutnya.

Massa buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020). Tuntutan mereka meminta RUU Omnibus Law dibatalkan jika merugikan kelompok buruh mereka pun kecewa karena buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan draftnya. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Sementara itu, Presiden KSPSI, Andi Gani Nena Wea mengaku sangat terkejut dengan isi draf Omnibus Law Cipta Kerja karena banyak poin yang merugikan buruh.

"Saya masih teringat cita-cita ayahanda Almarhum Jacob Nuwa Wea saat menyusun UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakaerjaan. Aturan ini dibuat saat Jacob Nuwa Wea menjabat Menakertrans di era Presiden Megawati," ujar Andi di Jakarta, Minggu (16/2/2020).

"Isinya sangat melindungi nasib buruh, berbeda 180 derajat dengan Omnibus Law Cipta Kerja yang justru menyulitkan nasib buruh," lanjutnya.

Baca: Sembilan Alasan Buruh Tolak Omnibus Law

Menurutnya, ada banyak hak buruh yang dihapus tak lagi berlaku dengan hadirnya omnibus law tersebut, seperti perubahan jam kerja, sistem kerja, kerja kontrak, outsourcing, upah minimum, dan pesangon.

(Tribunnews.com/Nuryanti) (Kompas.com/Ade Miranti Karuni)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini