Rata-rata vonis yang dijatuhkan Pengadilan lebih rendah dari rata-rata tuntutan yang disampaikan Penuntut baik dari Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rata-rata tuntutan Kejaksaan 3 tahun 4 bulan penjara, sementara dari tuntutan Jaksa KPK selama 5 tahun 2 bulan.
Secara rinci, Kurnia memaparkan, tuntutan dari Kejaksaan, dari total 911 terdakwa sebanyak 604 dituntut ringan, 276 sedang, dan 13 berat.
Sementara KPK menuntut 197 terdakwa, dengan 51 terdakwa dituntut ringan, 72 sedang, dan 6 berat.
Sedangkan untuk putusan, kasus yang ditangani Kejaksaan rata-rata divonis 2 tahun 5 bulan penjara. Sementara perkara korupsi yang ditangani KPK rata-rata divonis 4 tahun 1 bulan penjara.
"Lalu untuk vonis ringan, ketika penuntutnya adalah KPK sebanyak 63 terdakwa dan Kejaksaan sendiri sejumlah 722 terdakwa. Vonis yang dikategorikan berat untuk KPK sendiri sebanyak 2 terdakwa dan Kejaksaan 5 terdakwa," katanya.
ICW meminta Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Syarifuddin menyoroti secara khusus tren vonis yang masih ringan terhadap pelaku korupsi.
Hal ini dapat dilakukan MA dengan menyusun dan merealisasikan pedoman pemidanaan.
"Agar ke depan setiap hakim memiliki standar tertentu saat memutus perkara korupsi," katanya.
Selain itu, ICW juga meminta MA selektif dalam menilai kelayakan bukti terkait Peninjauan Kembali (PK) yang saat ini marak dilakukan terpidana korupsi.
Sepanjang 2019, MA setidaknya telah mengurangi hukuman enam terpidana kasus korupsi mulai dari pengurangan hukuman penjara, ataupun penghapusan uang pengganti.
"Jangan sampai justru PK dijadikan kesempatan bagi terpidana korupsi untuk lolos dari jerat hukum tanpa didasarkan persyaratan yang jelas," katanya.
Tak hanya hukuman pidana yang ringan bagi koruptor, upaya memulihkan keuangan negara yang diakibatkan korupsi juga tak maksimal.
Sepanjang 2019, ICW menyebut praktik korupsi merugikan keuangan negara hingga lebih dari Rp12 triliun.