Namun, putusan hakim yang menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti hanya sekitar Rp748 miliar atau hanya 10 persen dari keuangan negara yang mampu dikembalikan melalui putusan di berbagai tingkat Pengadilan.
Kejaksaan dan KPK juga tidak maksimal menerapkan pasal pencucian uang kepada koruptor.
Sepanjang 2019, hanya delapan terdakwa yang dikenakan UU Pencucian Uang.
Padahal, penerapan UU Pencucian Uang kepada terdakwa terbukti dapat menghasilkan putusan yang beriorientasi pada pemiskinan pelaku korupsi.
Dengan kombinasi penidanaan penjara maksimal disertai pengembalian hasil kejahatan diyakini dapat memberikan efek jera yang efektif bagi koruptor.
Untuk itu, ICW mendorong penegak hukum, baik Kejaksaan atau KPK, agar memanfaatkan dengan baik pedoman penuntutan saat menangani terdakwa korupsi.
Apalagi, menurutnya, saat ini pedoman penuntutan masuk sebagai salah satu poin yang akan diperbarui melalui program Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
"Ini dilakukan agar di masa mendatang penuntutan yang dilakukan penegak hukum bisa benar-benar berorientasi pada penjeraan pelaku korupsi," katanya.
Selain itu, menurut Kurnia, penegak hukum, baik Kejaksaan atau KPK harus selalu menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang ketika mendakwa pelaku korupsi.
"Sebab, secara yuridis maupun realita kejahatan korupsi seringkali beririsan langsung dengan tindak pidana pencucian uang. Hal ini sekaligus akan memberikan efek jera maksimal terhadap pelaku korupsi," katanya.