Salah satu keunggulan pada klausul kerja sama ini yaitu adanya prinsip retroaktif yang diusung oleh kedua belah pihak.
Artinya, pelaksanaan bantuan timbal balik dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilan belum dilaksanakan.
"Hal ini sangat penting guna menjangkau kejahatan yang dilakukan sebelum perjanjian ini terwujud," ungkap Sahroni.
Hal itu pun turut diamini oleh Yasonna.
Menurut dia, seluruh aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss sebelum UU berlaku tetap bisa dilacak dan disita negara.
"Bagusnya, UU ini bersifat retroaktif. Jadi, seluruh kejahatan fiskal, pencucian uang, atau apa saja yang terjadi sebelum perjanjian ini bisa tetap kita lacak," ujar Yasonna.
Selain itu, di dalam perjanjian tersebut juga disepakati adanya penyederhanaan prosedur bantuan hukum timbal balik.
Terutama, dalam mengurangi persyaratan formal seperti keharusan adanya otentikasi dan persyaratan rinci untuk meminta bantuan timbal balik.
Perampasan aset
Di lain pihak, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengapresiasi ratifikasi tersebut.
Namun, ia mengingatkan, aparat penegak hukum tetap dituntut profesional dan ahli dalam hal upaya pengembalian aset hasil korupsi.
Menurut Nawawi, dengan adanya perjanjian mutual legal agreement (MLA) itu, dasar hukum kerja sama internasional memang menjadi lebih kuat tetapi kapasitas penegak hukum tetap jadi faktor utama.
"Terkait upaya pengembalian aset hasil korupsi dan prinsip dari MLA, penegak hukum di Indonesia tetap dituntut profesionalitas dan keahliannya untuk memetakan keberadaan alat bukti, memetakan keberadaan aset di dalam dan luar negeri," ujar Nawawi.
Terkait perampasan aset, Nawawi menambahkan, hal yang kini dibutuhkan oleh KPK adalah undang-undang tentang perampasan aset serta pengaturan sejumlah tindak pidana korupsi sesuai Konvensi Antikoripsi PBB.
Nawawi mengungkapakan, beberapa aturan korupsi yang sudah berlaku di dunia namun belum berlaku di Indonesia antara lain perdagangan pengaruh (trading in influence).
Kemudian, peningkatan kekayaan secara tidak sah, korupsi di sektor swasta, suap kepada pejabat publik asing.