TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) merilis laporan prediksi terbaru mengenai kondisi iklim dan cuaca 8 Juli 2020 lalu.
WMO mengumpulkan dan menyediakan data analisis, prakiraan serta verifikasi dari sejumlah kontributor pusat-pusat prediksi iklim dan cuaca di seluruh dunia.
Di antaranya Eropa, Asia, Amerika dan Australia. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa suhu bumi akan mengalami kenaikan melebihi 1,5 derajat celsius tiap satu tahun.
"Kenaikan suhu global rata-rata tahunan dalam lima tahun mendatang akan cenderung setidaknya 1°C di atas tingkat pra-industri di masing-masing tahun pada 2020 hingga 2024 dan ada kemungkinan 20% kenaikan itu akan melebihi 1,5°C dalam satu tahun di antaranya, "ujar Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Rabu(15/7/2020).
Baca: Sebutkan Tiga Aktivitas Manusia yang Berpotensi Mengurangi Pemanasan Global! Jawaban SMP di TVRI
Baca: Di Kompetisi Ini, Milenial Ditantang Bikin Vlog Kampanyekan Isu Lingkungan dan Pemanasan Global
Sebagaimana diketahui bahwa pada 2019 lalu, suhu rata-rata bumi sudah lebih dari 1,0°C di atas periode pra-industri. Periode lima tahun terakhir (2014-2019) adalah lima tahun terhangat dalam sejarah catatan data meteorologi.
Sekjen WMO, Petteri Taalas, menegaskan bahwa hal itu akan menjadi tantangan besar ke depan dalam memenuhi target perjanjian perubahan iklim Paris untuk menjaga kenaikan suhu global abad ini jauh di bawah 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri dan untuk mengejar ambisi upaya membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5°C pada tahun 2030.
WMO juga menekankan bahwa perlambatan industri dan ekonomi dampak COVID-19 bukanlah pengganti dari rencana aksi iklim yang berkelanjutan dan terkoordinasi secara global.
Meskipun dampak COVID-19 berkontribusi pada penurunan emisi pada tingkat tertentu pada tahun ini, namun hal itu diperkirakan tidak akan signifikan pengaruhnya pada pengurangan konsentrasi atmosfer CO2 yang mendorong peningkatan suhu global, karena daur hidup CO2 yang sangat lama di atmosfer.
Sementara COVID-19 telah menyebabkan krisis kesehatan dan membuat ekonomi global terpuruk pada tahun ini, kegagalan untuk mengatasi perubahan iklim dapat mengancam kesejahteraan manusia, ekosistem dan ekonomi selama berabad-abad.
"Setiap pemerintah di dunia harus menggunakan kesempatan untuk melakukan aksi iklim sebagai bagian dari program pemulihan dan memastikan bahwa kehidupan bumi tumbuh kembali dengan lebih baik," ujar Petteri.
Lalu bagaimana di Indonesia?
Catatan iklim BMKG tahun 2019 menunjukkan tahun 2019 merupakan tahun terpanas kedua setelah 2016 di Indonesia dengan peningkatan 0.84°C di atas rata-rata iklim 1981-2000, emisi gas rumah kaca (GRK) terukur di stasiun GAW BMKG Kototabang terus meningkat mencapai 408,2 ppm meskipun masih relatif lebih rendah dari GRK global, jumlah kejadian bencana hidrometeorologi terus bertambah mencapai 3362 kejadian.
Penelusuran bukti perubahan iklim oleh peneliti BMKG dengan menggunakan data suhu di Jakarta hasil pengamatan sejak zaman Belanda (selama 150 tahun) menunjukkan peningkatan suhu rata-rata yang signifikan di Jakarta, yaitu 1,6°C dari 1866 hingga 2012 [Siswanto dkk, 2016].
Laju peningkatan ini cukup dapat dibandingkan dengan hasil analisis WMO, yaitu kenaikan suhu global sebesar 1.1°C terhadap zaman pra-industri (1850-1900) sebagai garis dasar periode acuan perubahan iklim global.
Suhu bumi yang terus memanas itu telah berdampak pada lingkungan, salah satunya memicu perubahan pola hujan dan peningkatan cuaca ekstrem. Di Indonesia, secara umum perubahan pola hujan itu ditandai oleh peningkatan hujan di daerah di utara khatulistiwa yang menyebabkan iklimnya cenderung semakin basah.
Sementara di selatan khatulistiwa cenderung kering. Namun di banyak tempat ditemukan bukti bahwa hujan dalam kategori ekstrem terus meningkat kejadiannya.
Kota Jakarta, data 130 tahun menunjukkan, sekalipun rata-rata curah hujan tahunan relatif sama, bahkan menurun, namun frekuensi hujan ekstrem justru meningkat. Sekitar 10% intensitas hujan tertinggi di Jakarta (di atas 100 mm per hari) telah meningkat 14% akibat penambahan suhu per 1 derajat celcius.
"Tren cuaca ekstrem juga meningkat, ditandai dengan peningkatan frekuensi dan skala bencana hidrometeorologi," ujar Herizal. (Willy Widianto)