Karena itu di kalangan peneliti senior, muncul kegamangan mengenai ketidakjelasan eksistensi lembaga mereka, termasuk kesan politisasi lembaga inovasi.
Baca: Bamsoet Ajak Santri Milineal Kuasai Teknologi Informasi
Terkait dengan anggaran litbang, Mulyanto juga menyoroti lemahnya dukungan pemerintah tersebut.
Untuk riset vaksin Covid-19, misalnya, melalui Konsorsium Riset Nasional, ternyata hanya dialokasikan dana litbang sekitar 20-an milyar.
"Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dana pengembangan vaksin Covid-19 dari Sinovac. Karenanya jangan heran kalau akhirnya nanti bangsa ini merogoh kocek triliunan rupiah untuk membeli vaksin impor dari Cina itu. Kita masih senang menjadi bangsa pembeli, ketimbang bangsa pembuat," ucap Mulyanto.
"Sementara, tantangan pembangunan kita semakin lama semakin berat dan peran riset-inovasi menjadi semakin vital. Medan kompetisi produksi telah bergeser dari keunggulan SDA (comparative advantage) menuju pada keunggulan bersaing (competitive advantage)," lanjutnya.
Mulyanto menjelaskan nilai tambah dan daya saing produk sangat dipengaruhi oleh sentuhan teknologi dan inovasi.
Karena itu, tidak heran kalau yang terjadi adalah de-industrialisasi dini. Hal ini disebabkan sektor industri kita terus merosot, kalah bersaing untuk ekspor.
"Pemerintah seharusnya serius membenahi soal ini. Jangan untuk mengurusi kelembagaan BRIN saja, sudah lebih dari 8 bulan masih terlantar. Ini kan aneh," kata Mulyanto.