News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ditjen AHU Kemenkumham: 8,3 Persen Perusahaan di Indonesia Laporkan Beneficial Owner

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi.Pegawai melintasi spanduk wilayah bebas korupsi di kantor KemenhumHAM, Jakarta Selatan, Rabu (8/6/2011). KemenhumHAM menetapkan 8 unit kerja di lingkungan KemenhumHAM, yaitu Inspektorat Jenderal, Ditjen AHU, Kanwil DKI Jakarta, Kanwil DI Yogyakarta, Kanim Klas I khusus Jakarta Barat, Kanim Klas I khusus Yogyakarta, Lapas Narkotika Klas II Jakarta, dan Rutan Klas IIA Yogyakarta.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat atas Korporasi dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) telah terbit sejak dua tahun lalu dan mulai diberlakukan setahun kemudian atau 1 Maret 2019.

Meski demikian, sejauh ini tak lebih dari 10 persen atau tepatnya 8,3 persen perusahaan di Indonesia yang sudah melaporkan pemilik manfaat yang sesungguhnya atau beneficial owner (BO) kepada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen AHU Kemenkumham).

Berdasarkan data Direktorat Perdata Ditjen AHU per tanggal 20 Juni 2020 dari 964.359 perusahaan yang terdaftar, baru 80.085 perusahaan yang melaporkan BO.

"Itu data BO per tanggal 20 Juni 2020," kata Direktur Perdata Ditjen AHU Santun Maspari Siregar lewat keterangan tertulis, Jumat (21/8/2020).

Baca: Beberapa Pekerjaan di Perusahaan yang Diperkirakan Hilang Akibat Pandemi Covid-19

Santun menjelaskan sejumlah kriteria pemilik manfaat dari korporasi ini mudah dideteksi karena secara legal sudah terlampir pada akta atau tercantum dalam anggaran dasar, yakni mengenai kepemilikan saham lebih dari 25 persen, kepemilikan hak suara lebih dari 25 persen serta penerimaan keuntungan lebih dari 25 persen dari laba perseroan per tahun.

Namun, terdapat sejumlah kriteria lain yang sulit terdeteksi, seperti kepemilikan kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi dan anggota dewan komisaris.

Kemudian, kriteria menerima manfaat dari perseroan terbatas, kepemilikan kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perseroan terbatas tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun serta pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham perseroan terbatas.

Dengan demikian yang mengetahui persis mengenai BO adalah korporasi itu sendiri.

Apalagi, tidak ada sanksi tegas terhadap korporasi yang tidak melaporkan BO.

Pasal 24 Perpres tersebut hanya menyebutkan 'dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan'.

Meski demikian, Santun menilai pelaporan BO mengalami perbaikan setelah pihaknya menerapkan sanksi berupa penghentian seluruh proses pelayanan pada Ditjen AHU sebelum korporasi menjalankan pelaporan informasi BO.

"Ini mendorong peningkatan pelaporan BO," kata Santun.

Untuk mendorong peningkatan pelaporan, Santun mengatakan pihaknya akan mengadakan jabatan fungsional baru yang melakukan pengawasan atas BO.

Hal ini seiring dengan terbitnya dua regulasi turunan dari Perpres, yakni Permenkumham No. 15/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dan Permenkumham No. 21/2019 tentang Tata Cara Pengawasan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini