"Hal ini tentunya menabrak ketentuan konstitusi dan aturan perundang-undangan lainnya, khususnya Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa PP memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan UU, sehingga PP tidak bisa membatalkan atau merubah Undang-Undang," kata Al Araf.
Berdasarkan catatannya terdapat hampir 400-an pasal dalam RUU Cipta Kerja yang menarik kewenangan kepada Presiden melalui pembentukan peraturan presiden.
Pasal-pasal tersebut, kata dia, mengatur bahwa Peraturan Pemerintah (PP) dapat digunakan untuk mengubah undang-undang (UU).
Menurutnya hal tersebut bertentangan dengan konstitusi, Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dengan seolah-olah “menggeser” kewenangan membuat UU dari DPR kepada Presiden, dan bertentangan dengan aturan perundang-undangan lainnya, khususnya Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa PP memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan Undang-Undang.
Selain itu, kata Al Araf, Imparsial menilai bahwa masih banyak masalah-masalah lain di dalam UU Cipta Kerja, seperti dalam aspek ketenagakerjaan yang menghapus hak cuti dan hak upah atas cuti tentu sangat merugikan para pekerja buruh di Indonesia.
"Belum lagi soal pemangkasan uang pesangon dari 32 bulan menjadi 25 bulan, hal ini tentunya sangat merugikan para pekerja atau buruh," kata Al Araf.
Selain itu dalam aspek pengadaan tanah bagi kepentingan investasi, kata Al Araf, juga sangat berpotensi merugikan petani di Indonesia, dan pada aspek lingkungan hidup yang menghapus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai syarat wajib izin usaha dan mengganti hanya menjadi sebagai bahan pertimbangan.
Secara sederhana, kata dia, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang (Omnibus Law) Cipta kerja berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara, merugikan para pekerja atau buruh, merugikan petani, merugikan hak-hak masyarakat adat, serta berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan hidup di Indonesia.
"Atas dasar tersebut, Imparsial menolak dan menyayangkan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law di DPR, apalagi pembahasan tersebut dilakukan secara tidak lazim, yakni dilakukan secara tertutup dan di tengah masa reses anggota DPR RI serta di tengah konsentrasi segenap elemen nasional mengatasi pandemi Covid-19," kata Al Araf.