Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah disarankan instropeksi menanggapi meluasnya penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang udang dalam rapat paripurna DPR RI, pekan lalu, melalui serangkaian aksi demonstrasi di ibu kota dn sejumlah daerah.
"Hemat saya, sebaiknya Pemerintah instropeksi. Dalam setiap momen mengeluarkan kebijakan harus selalu merangkul berbagai pihak secara komprehesif dan memperhatikan faktor sejarah perburuhan dengan baik,” ujar Direktur Pasca Sarjana Universitas Jaya Baya, Profesor Syarifuddin Tippe dalam keterangan pers tertulisnya kepada Tribunnews, Senin (12/10/2020).
Syarifuddin Tippe yang juga mantan rektor Universitas Pertahanan 2009-2012 ini menilai munculnya reaksi penolakan keras terutama dari elemen buruh terhadap UU Cipta Kerja sebagai hal yang wajar terjadi.
Baca juga: Said Iqbal Pastikan Tak Ada Buruh yang Di-PHK karena Ikut Aksi Mogok Nasional Tolak UU Cipta Kerja
"Letupan dan penolakan Undang-Undang Cipta kerja atau Omnibus Law wajar terjadi karena proses awalnya sosialisasinya kurang masif. Kondisinya (momentum pengesahannya) kurang tepat karena masyarakat tengah berkonsentrasi menghadapi pandemic Covid-19," tegasnya.
"Yang kita pahami adalah setiap undang-undang yang dibuat, pasti ada pihak yang kontra, itulah pentingnya dialog dan menyikapi semua isu di media sosial dengan arif dan bijak,” imbuhnya.
Meski begitu, Syarifuddin mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang akhirnya berpidato menanggapi reaksi penolakan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja.
"Sebaiknya, sosialisasi omnibus law ini gencar dan lebih masif lagi. Tidak harus presiden yang bicara, bisa dilakukan menteri terkait atau DPR. Ini karena setelah Pidato Jokowi kemarin, publik bisa lebih memahami apa sisi kritis dari Undang-Undang cipta kerja ini,” kata dia.
Baca juga: Ferdinand Mundur dari Demokrat karena Beda Sikap Terkait UU Cipta Kerja: Daripada Konflik Internal
Mantan Dan Seskoad ini mengaku sangat prihatin terhadap kondisi kekinian bangsa Indonesia yang menempatkan Pancasila masih sebatas retorika. "Hanya diumumkan sana-sini tetap aplikasinya bisa dilihat apa yang terjadi saat ini," ungkapnya.
Mengantisipasi era perang informasi, Syarifuddin mengimbau semua pihak bijak dalam menanggapi kabar yang beredar di media sosial.
"Apa yang kita terima di media sosial, jangan langsung kita forward, tapi lihat, pelajari, filter dulu sebelum disebar," kata dia.
“Jangan terburu-buru bersikap. Apalagi tindakan yang dapat memperuncing perbedaan, sikapi setiap kebijakan dengan positive thinking, termasuk undang-undang Omnibus Law yang menggabungkan 11 urusan," ujarnya.
"Kalau saya lihat dari pidato Pak Jokowi semua positif. Tapi kita tidak tahu nanti pelaksanaannya bagaimana. Saya berharap pelaksanaannya harus sesuai dengan prinsip bela Negara dan mengedepankan kepentingan masyarakat sebagai warga negara,” imbuhnya.
Terakhir, ia berpesan agar semua anak bangsa waspada karena bangsa Indonesia yang besar dengan jumlah sumber daya manusia dan sumber daya alamnya akan mendorong pihak eksternal memecah belah kesatuan bangsa.
“Saya berharap TNI, Polri, dan semua kesatuan strategis bangsa untuk memperkokoh dalam kesatuan dan persatuan yang mutlak, kalau kita saling sikut menyikut, saling iri hanya karena kekuasaan, sungguh kerdilnya kita."
"Jaga bangsa ini dari ancaman internal dan eksternal, luar biasa besarnya bangsa ini. Kekuatan kita ada di masyarakat, semua komponen strategis bangsa ini harus bersatu jangan mau diadu domba oleh sebuah kepentingan yang tidak jelas siapa yang punya. Semua menahan diri,” imbaunya.