Setidaknya tampak dari pendataan yang masih menyederhanakan femisida sebagai tindak pidana pembunuhan umum.
Dimensi kekerasan berbasis gender tidak digali dan pelaporan femisida ke lembaga layanan masih minim, karena korban sudah meninggal.
Itulah sebabnya, Komnas Perempuan mendasarkan pemantauannya pada pemberitaan media massa.
Data yang diolah dari hasil pemantauan Komnas Perempuan dalam rentang tahun 2018 - 2020 menunjukkan bahwa femisida merupakan sadisme baik dari motif, pola-pola pembunuhannya maupun berbagai dampak terhadap keluarga korban.
Baca juga: Suami Bunuh Istri yang Hamil Muda hingga Ibu Kandung Ogah Akui Anak, Kini Divonis Penjara 17 Tahun
Ketika korban kekerasan meninggal dibunuh, keluarga korban tak lagi memandang perlu menyelidiki kasus secara tuntas dan diserahkan kepada aparat penegak hukum.
Dampak psikologis seperti trauma dan depresi yang dialami keluarga tidak mendapat layanan pemulihan, termasuk ganti rugi.
Dari data pemantauan tersebut tampak bahwa kasus femisida meningkat setiap tahunnya seiring dengan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Pada 2018 terdapat 730 kasus, tahun 2019 sebanyak 1.184 kasus dan sampai Oktober 2020 tercatat 1.156 kasus.
Sebaran isu femisida meliputi pembunuhan perempuan (1.1770 kasus), suami membunuh istri (1.041 kasus), pembunuhan pacar berjumlah (92 kasus), pembunuhan mantan pacar (47 kasus) dan pembunuhan oleh mantan suami (105 kasus).
Baca juga: Bersama Selingkuhan Bunuh Istri, Praka Martin Divonis 20 Tahun Penjara dan Dipecat Dari TNI
Baca juga: Setelah Bunuh Istri di Depan Anak, Pria Ini Kirim Foto Jenazahnya ke Mertua
Tampak bahwa femisida terbanyak terjadi di ranah rumah tangga/personal yang dilakukan dalam relasi keluarga, perkawinan maupun pacaran.
Di ranah komunitas femisida terjadi sebagai kekerasan berbasis gender lainnya seperti perkosaan.
Pembunuhan oleh mantan suami terhadap mantan isterinya menunjukkan bahwa ketika hubungan suami-isteri berakhir, antara lain melalui perceraian, kekerasan tidak berhenti, itu hanya transisi ke bentuk kekerasan baru yang disebut sebagai “post separation abuse” atau KDRT berlanjut.
Selain pembunuhan oleh pasangan, kematian perempuan juga didorong untuk menyelamatkan kehormatan diri dan keluarga (honour killing) seperti pembunuhan terhadap seorang remaja perempuan oleh ayah dan saudara laki-lakinya, karena melakukan hubungan seksual di luar perkawinan di Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Motif dendam mendorong pembunuhan di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, oleh pelaku yang memperkosa jasad pasangannya, karena dendam sebab lamarannya ditolak dan korban mengaku sudah memiliki kekasih.