Violla menilai pembentuk UU memiliki itikad buruk untuk membajak dan menjadikan MK sebagai kaki tangan penguasa di cabang kekuasaan kehakiman.
"Disahkannya UU Mahkamah Konstitusi memberikan implikasi deteriorasi moralitas berkonstitusi yang serius. Terlebih, revisi UU ini membahayakan bagi kemerdekaan MK ke depan, berpotensi menurunkan kredibilitas MK di mata publik, dan mereduksi fungsi checks and balances MK terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif," ujarnya.
Atas dasar itu, sejumlah lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Save Mahkamah Konstitusi akan mengajukan gugatan revisi Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) ke MK.
4. Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (Omnibus Law)
RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini merupakan yang paling fenomenal sepanjang 2020 lantaran mendapat penolakan keras mayoritas kalangan, terutama dari para buruh dan pekerja.
Di tengah pandemi yang sedang melanda Indonesia, DPR RI mengesahkan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020.
Kemudian Presiden Joko Widodo menandatanginya pada Senin (2/11/2020).
Kini, undang-undang tersebut tercatat sebagai UU Nomor 11 Tahun 2020.
UU Cipta Kerja terdiri atas 15 bab dan 186 pasal.
Di dalamnya mengatur mengenai ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.
Regulasi tersebut menuai kritik karena proses pembahasannya dinilai minim partisipasi publik dan terburu-buru.
Selain itu, secara materiil, UU ini dinilai hanya memihak para kapitalis dan dianggap tidak berpihak kepada pekerja dan lingkungan.
Misalnya, dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja.
Dalam Pasal 59 UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengatur, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah.
Sementara UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Baca juga: Risma Kaget Dana Perbaikan DTKS Capai Rp 1,3 Triliun, Begini Kata Anggota DPR
Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas
Dalam Pasal 88 UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 88 UU Ketenagakerjaan.
Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Selain itu, UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja ( PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 58 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 169 UU Ketenagakerjaan.
Banyaknya pasal kontroversi membuat Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan buruh indonesia beserta 32 Federasi serikat buruh lainnya menyatakan Menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Mereka beberapa kali menggelar aksi Mogok Nasional menolak Omnibus Law Cipta Kerja.
Bahkan, KSPI menggugat UU itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).