Lebih jauh, menurut dia, ketiadaan jawaban konkret soal pembentukan Pam Swakarsa hanya akan memunculkan dugaan politik akomodir terhadap institusi alat negara oleh pemerintah akan terlihat jelas, sehingga pendekatan keamanan menjadi primadona pemerintah.
Dasar hukum pembentukan Pam Swakarsa juga dipertanyakan, karena hanya berdasarkan Peraturan Kapolri.
Padahal ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri menyebutkan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa sebagai salah satu Pengemban fungsi kepolisian.
Pada ayat (2) disebutkan bahwa pelaksana fungsi kepolisian, termasuk pengamanan Swakarsa, melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Sementara Peraturan Kapolri tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang kemudian menjadi UU No. 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Perubahan seragam satpam menjadi serupa dengan polisi dan disertai kepangkatan seperti yang diatur dalam Perkap Pam Swakarsa justru berpotensi melahirkan kesewenang-wenangan baru oleh oknum tertentu, seperti meluasnya razia bodong karena Satpam merasa punya kewenangan layaknya Polri. Potensi ini terbuka terjadi didaerah-daerah yang minim informasi perihal kebijakan ini," ujar Bonar.
Menurutnya, alasan perubahan seragam agar tumbuh kebanggaan satpam dan dekat dengan Polri tentu tidak memiliki dasar yang kuat, dan subjektif. Sebab, setiap profesi memiliki kebanggaan masing-masing.
"Kebijakan yang secara tidak langsung mengarah kepada integrasi Satpam ke bawah Polri ini justru mengingatkan kita dengan integrasi Polri dibawah atap ABRI dahulu yang memang terbukti tidak efektif lantaran tupoksi yang berbeda dan memicu pelbagai kecemburuan yang tidak konstruktif untuk perkembangan tiap-tiap institusi," kata dia.
Ketimbang membentuk Pam Swakarsa, menurut Bonar lagi, memastikan agenda reformasi Polri terus berjalan justru lebih penting.
Ia mengatakan, berbagai dugaan praktik penyiksaan dan kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian terhadap warga sipil menjadi cerminan belum tuntasnya reformasi internal Polri.
Praktik-praktik tersebut mencerminkan tengah tumbuh suburnya kultur kekerasan dan kesewenang-wenangan aparat kepolisian dalam melakukan proses hukum.
Kata Bonar, berbagai kasus dugaan penyiksaan dan kekerasan oleh kepolisian tersebut justru menjadi sesuatu yang paradoks, karena Polri yang seharusnya memelihara keamanan, memberikan perlindungan, dan pengayoman terhadap masyarakat, tetapi justru markas kepolisianlah yang menjadi tempat tidak aman bagi warga sipil.
"Lebih jauh, berbagai kasus dugaan penganiayaan dan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian, mencerminkan motto Promoter (Profesional, Modern, dan Terpercaya) tinggal sebatas slogan lantaran kondisi di lapangan 180 derajat berbeda," katanya.
Dosen PTIK : Ada Hal Positif
Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Reza Indragiri Amriel ikut menyoroti polemik dihidupkannya kembali Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (Pam Swakarsa).
Sebelumnya, wacana tersebut dilontarkan oleh Kapolri terpilih Komjen Listyo Sigit Prabowo saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan calon Kapolri yang diselenggarakan Komisi III DPR, Rabu (20/1/2021) lalu.
Namun, wacana tersebut menuai polemik karena Pam Swakarsa identik dengan kelompok sipil bersenjata tajam yang dikhawatirkan bisa memicu konflik horizontal.
Baca juga: Kritik Keinginan Listyo Sigit Aktifkan Kembali Pam Swakarsa, Kontras: Bisa Picu Konflik Horizontal
Pasalnya, Pam Swakarsa memiliki sejarah kurang baik yang dikenal dengan Tragedi Semanggi pada tahun 1998 silam.
Namun, Reza menuturkan, bisa jadi, Pam Swakarsa yang ingin dibentuk oleh Polri menjadi hal positif.
Untuk itu, ia menyarankan agar semua pihak memastikan terlebih dulu mengenai Pam Swakarsa seperti apa yang ingin dibangun pada saat ini.
"Tanyalah dulu kepada (calon) Kapolri, Pam Swakarsa macam apa yang ingin beliau bangun?"
"Kalau yang dimaksud adalah membangun kelompok-kelompok sadar hukum dan berinisiatif menciptakan keamanan-ketenteraman di lingkungan sekitar,"
"Maka boleh jadi itu merupakan realisasi perpolisian masyarakat (community policing)," kata Reza Indragiri Amriel kepada Tribunnews.com, Minggu (24/1/2021).
Baca juga: Keinginan Listyo Sigit Aktifkan Kembali Pam Swakarsa Tuai Polemik, Ini Tanggapan Kontras dan YLBHI
Jika yang dimaksud adalah community policing, Reza menyebut, maka dihidupkannya kembali Pam Swakarsa adalah hal positif.
Pasalnya, sudah lama sekali Polri tidak lagi mengusung community policing sebagai filosofi kerjanya—berbeda dengan Kapolri sekian periode silam.
Menurutnya, community policing menjadi semakin penting dewasa ini ketika Polri terkesan menjadi terlalu fokus hanya mengerjakan fungsi penegakan hukum.
"Itu pun kerap dikritik karena Polri dianggap publik punya persoalan besar terkait procedural justice dan distributive justice."
"Nah, kedua isu itu bisa diatasi lewat digencarkannya kembali community policing," tambahnya.
Ia juga menyebut, esensi lain Pam Swakarsa, jika dibangun secara konstruktif, maka bisa merefleksikan keterlibatan masyarakat.
Baca juga: KSP Beri Penjelasan soal Pam Swakarsa yang Disebutkan Calon Kapolri Komjen Listyo Sigit
Sebab, dalam kerja polisi, partisipasi adalah salah satu unsur penting disamping fairness, neutrality, respect, dignity, dan trustworthy.
"Jadi, lihat saja bagaimana unsur-unsur tersebut bisa juga terpenuhi seandainya gagasan Pam Swakarsa benar-benar terealisasi."
"Dan jika Pam Swakarsa dalam kesehariannya malah memunculkan penilaian publik bahwa Polri menjauh dari unsur-unsur tersebut, maka, jelas, Pam Swakarsa kontraproduktif bagi Polri," tegasnya.
Tegas Kapolri
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan maksud Pam Swakarsa yang menjadi salah satu programnya.
Dia menegaskan program itu tidak sama dengan Pam Swakarsa pada 1998 lalu.
"Jadi bukan Pam Swakarsa yang dimaksud seperti tahun 1998. Itu jauh sekali," kata Listyo di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Jumat (29/1/2021).
Listyo menjelaskan aturan PAM Swakarsa sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri dan dituangkan dalam peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 4 Tahun 2020.
Dalam regulasi tersebut, Pam Swakarsa yang dimaksud berkaitan dengan kegiatan partisipasi masyarakat mengenai penjagaan Kamtibmas.
Nantinya, masyarakat bersama Polri turut berperan bersama menjaga ketertiban masyarakat.
"Kegiatan-kegiatan yang kita maksud adalah kegiatan yang berkaitan dengan pemolisian masyarakat. Tentunya peran aktif dan partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungannya dari permasalahan-permasalahan atau bersama-sama Polri menjaga agar tidak terjadi peristiwa peristiwa ataupun masalah-masalah yang kemudian menjadikan atau mengganggu masalah Kamtibmas," ungkapnya.
Dia pun mencontohkan terkait sinergitas Polri mengandeng Satpam, Keamanan Keliling, hingga Pecalang (adat Bali) dalam PAM Swakarsa ini.
Nantinya, mereka semua akan diberikan kemampuan terkait pengamanan Kamtibmas.
"Sebagai contoh di lingkungan perusahaan di situ kemudian muncul yang namanya satpam dan satpam akan diberikan kemampuan bersinergi dengan Polri menjadi satuan pengamanan dan seperti di Bali ada pecalang atau pos kamling yang ada di kota kota atau desa desa yang sekarang ini sudah mulai tidak ada kita hidupkan lagi dan ini tujuannya untuk menjaga lingkungannya," terang Listyo.
Tak hanya itu, kata Listyo, mereka semua akan terkoneksi dengan sistem teknologi informasi.
Nantinya, permasalahan Kamtimbas bisa dapat disampaikan langsung secara cepat.
"Jadi lebih kepada itu bukan kembali ke masalah lalu dan mungkin itu juga untuk mengclearkan polemik yang kemarin seolah kami menghidupkan kembali PAM Swakarsa ala-ala 1998. Sementara yang kita maksud itu jauh sekali karena lebih kepada kegiatan pemulihan masyarakat dan partisipasi masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan memelihara dan menjaga situasi Kamtibmas di wilayah lingkungan masing-masing," ujarnya.
(Tribunnews.com/Chrysnha, Ilham Rian, Maliana, Igman Ibrahim/Kompas.com/Nicholas Ryan Aditya/Achmad Nasrudin Yahya)