Masalah utama dinilainya adalah kurangnya dukungan pada sisi kebijakan permintaan yakni perlindungan sosial Rp 220,3 triliun dan realisasi belanja kesehatan Rp 63,5 triliun.
Angka ini, lanjut Bhima, masih lebih kecil dibandingkan stimulus lain misalnya untuk pembiayaan korporasi Rp 60,7 triliun, insentif usaha Rp 56,1 triliun, sektoral kementerian, lembaga, dan pemda Rp 66,5 triliun dan insentif UMKM Rp 112 triliun.
"Idealnya pemerintah mendorong sisi permintaan dibanding fokus pada sisi penawaran. Jika permintaan belum terdorong dengan belanja pemerintah, maka percuma memberikan banyak keringanan bagi pelaku usaha," ujarnya.
Bhima Yudhistira juga mengatakan, ekonomi minus ini menunjukkan kegagalan menangani pandemi.
"Kegagalan pemerintah dalam mengendalikan pandemi, sehingga masyarakat masih menahan untuk berbelanja," ujarnya.
Baca juga: Tanggapi Konstraksi Ekonomi Indonesia, Pemerintah Dinilai Belum Habis-habisan Atasi Pandemi
Bhima menjelaskan, kelompok pengeluaran menengah dan atas berperan hingga 83 persen dari total konsumsi nasional.
"Untuk memulihkan permintaan kelompok ini kuncinya adalah penanganan pandemi, hal ini yang tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah," katanya.
Menurut dia, meskipun vaksinasi mulai mengangkat optimisme pelaku usaha dan konsumen di akhir 2020, tapi timbul pesimisme terkait jenis yang digunakan.
Selain itu, ada masalah kecepatan distribusi vaksin yang butuh waktu tidak sebentar dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) jilid I menggerus kepercayaan konsumen lebih dalam.
"Jadi, optimisme pemulihan ekonomi yang lebih cepat dipangkas sendiri oleh kebijakan pemerintah," pungkas Bhima.(TribunNetwork/nas/van/wly)