Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fandi Permana
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktik ilegal yang menggunakan skema bisnis ponzi dalam bentuk aplikasi penghasil uang rupanya marak terjadi belakangan ini.
Aplikasi tersebut memang secara legalitas telah diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika karena tak mengurus izin sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).
Aplikasi seperti Vtube, Snack Video, maupun TikTok Cash sudah dicabut operasionalnya dan dinyatakan ilegal oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Namun, beberapa pihak menilai masih banyak sebenarnya aplikasi serupa hadir di internet.
Baca juga: BSSN: Ada Tren Peningkatan Serangan Siber Malware Pencuri Informasi di Awal Pandemi
Bahkan diperkirakan aksi skema bisnis ponzi bisa terus berulang kehadirannya di Indonesia dengan nama yang berbeda.
Mengamati hal tersebut, pakar Keamanan Siber dan Komunikasi Pratama Persadha mengatakan kehadiran praktik aplikasi ini memang selalu berkutat pada memberi iming-iming keuntungan besar.
Hal ini bisa terus berulang lantaran saat ini masyarakat getol memanfaatkan aplikasi digital dan mudah tertarik karena iming-iming imbalan besar.
Baca juga: Polisi Maksimalkan Instagram dan YouTube untuk Edukasi Praktik Kejahatan di Dunia Siber
“Konsep ini sebenarnya sudah lama terjadi. Karena lemahnya pengawasan jadi terus berulang kejadiannya," ujar Pratama saat dihubungi Tribunnews.com, Minggu (7/3/2021).
Pratama mencontohkan dalam kasus TikTok Cash, pelaku menyakinkan para korban dengan membuat alamat website dan aplikasi ponsel pintar seakan-akan akun asli di bawah naungan perusahaan TikTok resmi.
Pelaku pun bahkan berani memasang iklan di Facebook dan Instagram agar semakin dipercaya.
Baca juga: Polisi Maksimalkan Instagram dan YouTube untuk Edukasi Praktik Kejahatan di Dunia Siber
"Itu kehebatan mereka dalam meyakinkan calon korbannya. Seolah-olah bagian resmi dari TikTok padahal gak. Jadi mereka memang berani dan pintar memanfaatkan kelengahan penggunanya agar terjebak dalam skema bisnis ponzi itu," kata Pratama.
Kemudian, Pratama mencontohkan aplikasi Snack Video yang baru saja diblokir Kominfo. Menurutnya, aplikasi itu memiliki tampilan yang hampir mirip TikTok.
Namun berbeda dengan platform illegal lainnya seperti Vtube, TiktokCash atau aplikasi lainnya yang harus berinvestasi atau membayar sejumlah uang untuk keanggotaan terlebih dahulu.
Dalam aplikasi Snack Video, pengguna disarankan untuk membeli berlian atau diamond yang merupakan salah satu alat transaksi di aplikasi itu.
Berlian ini nantinya digunakan untuk memberikan hadiah berupa donasi kepada para konten kreator yang sedang live.
Melalui donasi itu, saat pembuat konten sedang melakukan siaran langsung, para penontonnya bisa memberikan donasi berupa mata uang berlian ini kepada mereka.
Sepintas praktik ini tak menyalahi aturan dalam media sosial. Namun, yang jadi masalah ketika Snack Video menjanjikan keuntungan dari banyaknya donasi yang disalurkan dan bisa di-withdraw melalui Ovo.
"Kalau Snack Video sepintas tak ada masalah saat awal-awal muncul. Tapi belakangan aplikasi itu malah sering menganjurkan konten kreator untuk berdonasi melalui diamond. Tentu sangat mencurigakan lagi karena Snack Video menjanjikan pula keuntungan dari menonton video dari kreator di sana," jelas Pratama.
Adapun dari sisi keamanan, Snack Video dikritisi karena datanya ditransmisikan ke China. Menurut Pratama, negara-negara di Amerika dan Eropa sudah memberi daftar hitam pada Snack Video.
Banyak pakar keamanan siber menganggap aplikasi ini berbahaya karena disinyalir digunakan oleh pemerintah China untuk mengakses data pengguna di seluruh dunia yang dipantau kapan saja.
"Kalau dari segi keamanan memang banyak yang meragukan. Snack Video itu sudah dikeluarkan dari ekosistem iOS karena dianggap melakukan plagiarisme, lantaran aplikasinya karena sangat mirip dengan TikTok. Ahli keamanan siber juga mengatakan, Snack Video sengaja membagikan data penggunanya ke pemerintah China, makanya di Amerika dan India sudah memblokir aplikasi ini," imbuh Pratama.
Diektahui, pengembang aplikasi Snack Video ini bermarkas di Singapura, namun developer itu dimiliki oleh perusahaan Kuaishou Technology yang ada raksasa Teknologi Tencent di China.
Selain itu, faktor pandemi Covid-19 turut mendukung kepopuleran Snack Video. Saat situasi ekonomi sulit, masyarakat diiming-imingi mendapat keuntungan melalui cara yang tak masuk akal.
Misalnya saja untuk layanan menonton video yang sedang ramai, seperti SnackVideo yang menawarkan uang sebesar Rp 52.000 jika berhasil menggundang teman untuk ikut menginstal aplikasi tersebut.
“Sebenarnya platform yang menawarkan keuntungan tinggi dengan hanya menonton video lalu mencari anggota lain bisa mendapatkan komisi seharusnya sudah sangat mencurigakan. Makanya harus segera ditindak dan dilihat legalitasnya berdasarkan track record global,” katanya.