TRIBUNNEWS.COM - Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dr Daryono, membantah teori konspirasi mengenai bencana tsunami Aceh tahun 2004 silam.
Beredar teori konspirasi yang menyebut tsunami Aceh adalah rekayasa Amerika Serikat.
Disebutkan pula jika bencana dahsyat tersebut merupakan hasil dari senjata thermonuklir yang diujicobakan.
"Saya tergelitik karena ada yang mengangkatnya kembali," ungkap Daryono kepada Tribunnews.com, Senin (22/3/2021).
Daryono menegaskan, tsunami Aceh benar-benar dipicu oleh gempa tektonik, bukan nuklir.
Baca juga: Keluarga Pastikan Polisi yang Ditemukan di RSJ adalah Abrip Asep yang Hilang saat Tsunami Aceh
Setidaknya, ada tujuh poin bukti ilmiah yang diungkapkan Daryono sebagai bantahan atas teori konspirasi tersebut.
Pertama, data rekaman getaran tanah.
Daryono mengungkapkan data rekaman getaran tanah dalam seismogram menunjukkan adanya rekaman gelombang badan (body) berupa gelombang P (Pressure) yang tercatat tiba lebih awal dibandingkan gelombang S (Shear) yang datang berikutnya.
Selanjutnya gelombang S diikuti oleh gelombang permukaan (surface).
"Munculnya fase-fase gelombang body ini menjadi bukti kuat bahwa gempa dan tsunami Aceh dipicu oleh aktivitas tektonik, bukan ledakan nuklir," ungkap Daryono.
Baca juga: Pria Viral Dirawat di RSJ Dipastikan Abrip Asep, Polisi yang Hilang saat Terjadi Tsunami Aceh
Kedua, munculnya gelombang S (Shear).
"Munculnya gelombang S (Shear) yang kuat pada seismogram menunjukkan bahwa deformasi yang terjadi di Samudera Hindia sebelah barat Aceh adalah proses pergeseran (shearing) yang terjadi secara tiba-tiba pada kerak bumi akibat terjadinya patahan batuan dalam proses gempa tektonik, bukan akibat ledakan nuklir," jelas Daryono.
Ketiga, deformasi dasar laut.
Datyono mengungkapkan deformasi dasar laut di Samudra Hindia sebelah barat Aceh pada 26 Desember 2004 adalah gempa tektonik yang dibuktikan dengan adanya variasi bentuk awal gelombang P berupa gerakan kompresi (naik) dan dilatasi (turun) pada seismogram yang tercatat di stasiun-stasiun seismik BMKG.
"Jika sumbernya ledakan nuklir, maka semua catatan seismogram di berbagai stasiun seismik diawali dengan gerakan naik (kompresi) pada gelombang P tersebut," ungkap Daryono.
Baca juga: Jepang Rawan Gempa, Warga Antisipasi Siapkan Tas Darurat Berisi Kebutuhan Selama Mengungsi
Keempat, gempa tektonik pemicu tsunami tidak tiba-tiba.
Gempa tektonik yang memicu Tsunami Aceh 2004, disebut Daryono tidak terjadi dengan tiba-tiba.
Melainkan melalui proses terjadinya gempa pembuka (foreshocks) yang sudah muncul sejak tahun 2002, saat terjadi Gempa Simeulue 7,0 pada 2 November 2002.
"Sejak itu terjadilah serangkaian gempa kecil yang terus-menerus terjadi yang merupakan gempa pendahuluan hingga puncaknya terjadi gempa berkekuatan 9,2 pada 26 Desember 2004 pukul 08.58.53 WIB," ungkap Daryono.
Fenomena gempa pendahuluan (foreshocks) yang sudah terjadi sejak 2 tahun sebelumnya ini, kata Daryono, merupakan bukti kuat Gempa Aceh 2004 tidak dipicu ledakan nuklir.
"Tetapi gempa tektonik dengan tipe gempa pendahuluan (foreshocks) - gempa utama (mainshock) - gempa susulan (aftershocks)," jelasnya.
Baca juga: Info BMKG Hari Ini: Peringatan Dini Selasa, 23 Maret 2021, Waspada Cuaca Ekstrem di 29 Wilayah
Kelima, jalur rekahan.
Gempa Aceh 2004, lanjut Daryono, membentuk jalur rekahan (rupture) di sepanjang zona subduksi (line source) dari sebelah barat Aceh di selatan hingga Kepulauan Andaman-Nicobar di utara sepanjang sekitar 1500 km.
"Ini adalah bukti bahwa rekahan gempa tektonik terjadi di segmen Megathrust Aceh-Andaman."
"Rekahan panjang yang terbentuk di sepanjang jalur subduksi lempeng ini adalah bukti bahwa deformasi dasar laut yang terjadi bukan disebabkan oleh ledakan nuklir."
"Karena jika ledakan nuklir maka deformasi yang terbentuk secara terpusat di satu titik (point source) dan tidak berupa jalur (line source)," jelasnya.
Keenam, adanya serangkaian gempa susulan.
Bukti selanjutnya, ungkap Daryono, guncangan dahsyat di Aceh 2004 dipicu oleh gempa tektonik adalah munculnya serangkaian gempa susulan yang sangat banyak di sepanjang jalur Megathrust Andaman-Nicobar pasca gempa utama.
"Jika tsunami dipicu ledakan nuklir maka tidak ada rekaman gempa susulan yang sangat banyak yang terjadi hingga lebih dari setahun kemudian."
"Jika tsunami dipicu oleh ledakan nuklir, maka tidak akan ada rekaman gempa susulan tersebut hingga periode yang sangat lama," ujar Daryono.
Ketujuh, soal perubahan magnitudo.
Daryono mengungkapkan, adanya perubahan data magnitudo dan posisi episentrum gempa Aceh 2004 adalah hal biasa dalam analisis penentuan parameter gempa.
"Perubahan parameter gempa terjadi karena adanya pemutakhiran data akibat bertambahnya data seismik yang masuk dan digunakan untuk dianalisis oleh petugas di lembaga monitoring gempa."
"Makin banyak data gempa yang digunakan maka hasil parameter gempa makin stabil dan akurat hingga diperoleh hasil final."
"Demikian juga adanya perubahan episenter Gempa Aceh 2006, disebabkan oleh adanya proses rekahan pada sumbar gempa yang bertahap dan terjadi dalam kawasan yang memanjang dari barat Aceh hingga Kepulauan Andaman-Nicobar," ungkap Daryono.
Diketahui, teori konspirasi bencana tsunami Aceh kembali beredar di media sosial, seperti unggahan Instagram @knowledgethatyouneed.
Baca juga: Daftar 12 Gunung yang Berpotensi Sebabkan Tsunami di Indonesia, Aktivitasnya Diawasi 24 Jam
Diketahui, tsunami Aceh terjadi pada 26 Desember 2004, didahului gempa yang terjadi pada pukul 07.59 WIB.
Dikutip dari Kompas.com, tidak lama setelah itu, muncul gelombang tsunami yang diperkirakan memiliki ketinggian 30 meter.
Kecepatan gelombang tsunami mencapai 100 meter per detik, atau 360 kilometer per jam.
Gelombang besar nan kuat ini tidak hanya menghanyutkan warga, binatang ternak, menghancurkan pemukiman bahkan satu wilayah, namun juga berhasil menyeret sebuah kapal ke tengah daratan.
Sehari setelah kejadian, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bencana ini sebagai bencana kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi.
Berdasarkan Kompas.com (26/12/2020), jumlah korban dari peristiwa alam tersebut disebut mencapai 230.000 jiwa.
Jumlah itu bukan hanya datang dari Indonesia sebagai negara terdampak paling parah, namun juga dari negara-negara lain yang turut mengalami bencana ini.
Berita lain mengenai bencana tsunami.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto, Kompas.com/Luthfia Ayu Azanella)