TRIBUNNEWS.COM - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mencabut surat telegram rahasia nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021.
Surat Telegram itu tentang pelaksanaan peliputan yang bermuatan kekerasan dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik.
Pencabutan itu berdasarkan Surat Telegram Nomor ST/759/IV/HUM.3.4.5/2021 yang ditandatangani oleh Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono atas nama Kapolri, Selasa (6/4/2021).
"Sehubungan dengan referensi di atas disampaikan kepada kesatuan anggota bahwa Surat Telegram Kapolri sebagaimana referensi nomor empat diatas dinyatakan dicabut dan dibatalkan," bunyi surat telegram tersebut yang dikutip Tribunnews.com, Selasa.
Baca juga: Aturan Internal Polri Harus Berdasar UU, Kode Etik Jurnalistik, dan Prinsip Akuntabilitas
Diberitakan Tribunnews.com sebelumnya, berikut isi surat telegram nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 yang menuai pro dan kontra:
1. Media dilarang menyiarkan tindakan kepolisian yang arogan dan berbau kekerasan.
2. Jajarannya yang bekerja di bidang humas tidak boleh menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana.
3. Tidak boleh menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
4. Tidak boleh memberitakan terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan.
5. Tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual.
Baca juga: Polri Tegaskan Larangan Penayangan Oknum Anggota yang Lakukan Kekerasan Hanya Berlaku Internal
6. Menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.
7. Menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban, beserta keluarga maupun korbannya yang masih di bawah umur juga harus disamarkan.
8. Tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku.
9. Tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang.
10. Kepolisian dilarang membawa media dan melakukan siaran langsung saat proses penangkapan pelaku kejahatan. Hanya anggota Polri yang berkompeten yang boleh melakukan dokumentasi.
11. Tidak menampilkan gambaran eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.
Sementara itu, Ketua Komisi III DPR, Herman Herry mendorong Kapolri memberikan penjelasan terkait surat telegram Nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021.
"Jika memang imbauan itu ditujukan pada media internal kepolisian, hal ini yang mesti dijelaskan agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi di publik," kata Herman, seperti diberitakan Tribunnews.com, Selasa (6/4/2021).
Komisi III DPR, kata Herman, tentu akan mengawasi dengan seksama dan akan menjadi bahan dalam melakukan Rapat Kerja Pengawasan dengan Kapolri ke depan.
Baca juga: Polri Kerahkan Mobil Dapur Umum, Kapal hingga Perahu Karet Bantu Korban Banjir NTT
Baca juga: Polri Siapkan 333 Titik Penyekatan untuk Menghalau Masyarakat Mudik Lebaran 2021
Selain poin pertama yang masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut, menurutnya, perlu juga diberikan apresiasi terhadap beberapa hal di dalam telegram tersebut.
Misalnya, tidak menayangkan reka ulang kejahatan, termasuk kejahatan seksual, menyamarkan identitas dan wajah korban kejahatan seksual, menyamarkan wajah pelaku dan korban kejahatan seksual yang masih di bawah umur, hingga tidak menayangkan reka ulang bunuh diri maupun tawuran.
"Saya menilai implementasi dari hal-hal tersebut akan berdampak positif bagi publik," kata Herman.
(Tribunnews.com/Nuryanti/Chaerul Umam)