"Jadi saya menangkap ada ketidakpuasan dan beberapa penasihat menggambarkan hal yang sama artinya sebenarnya mereka berharap benih lobster ini bisa memberikan manfaat ekonomi yang signifikan tapi kalau hanya 100 juta, 139 juta tidak seperti yang diharapkan karena kondisinya katanya sangat banyak," kata Zulficar.
Kemudian beberapa bulan berikutnya, terjadi penambahan kuota tiga kali lipat dari jumlah penetapan awal 139 juta ke 418 juta.
Zulficar sendiri mengaku tak mengetahui proses penambahan kuota tersebut, lantaran tak lagi menjabat posisi Dirjen Perikanan Tangkap KKP.
"Saya belakangan baru dapat informasi dari media bahwa bulan September itu ada perubahan kuota baru di mana jumlah yang dibolehkan itu menjadi 418 juta, ini keputusan menteri yang ditandatangani oleh pak Sekjen kalau tidak salah, menggambarkan sekarang 418 juta. Tapi saya tidak ikut lagi diprosesnya hanya tahu di situ," pungkas Zulficar.
Dalam perkara ini, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo didakwa menerima suap Rp25,7 miliar dengan rincian 77 ribu dolar AS atau setara Rp 1,12 miliar dan Rp 24.625.587.250 (Rp 24,6 miliar) dari beberapa perusahaan.
Suap itu ditujukan guna mengurus izin budidaya lobster dan ekspor benur.
Uang sebesar 77 ribu dolar AS diterima Edhy Prabowo dari Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito.
Sedangkan Rp 24,6 miliar juga diterima dari Suharjito dan sejumlah eksportir benih bening lobster (BBL) lain.