“Semua temuan dibuat dibawah Rp 100 juta biar masuk dalam kategori pelanggaran administratif. Itu karena diperiksa oleh inspektorat daerah. Padahal fakta di lapangan, korupsi yang dilakukan cukup besar dan sangat terang. Bahkan ada satu desa yang diduga melakukan korupsi dana desa hingga Rp 1 miliar,” tutur Ketua Kadin Provinsi NTT ini.
Dia juga menerima laporan bahwa dalam pelaksanaan 27 Pilkades serentak di Kabupaten Manggarai Timur yang baru selesai pada Agustus 2021 juga terjadi praktik yang sama.
Para mantan Kades yang melakukan korupsi dana desa dibuat sedemikian rupa agar hanya masuk kategori pelanggaran administratif.
Dengan cara itu, mereka bisa bebas lagi mengikuti Pilkades, bahkan beberapa orang terpilih kembali.
“Di kabupaten-kabupaten lain di NTT juga terjadi hal yang sama. Jadi ada ratusan yang lolos dari penjara karena adanya nota kesepahaman itu. Di provinsi lain juga pasti terjadi hal serupa. Maka terjadi kemunduran dalam pemberantasan korupsi dana desa,” tegas Abraham.
Senator yang sudah tiga periode ini meminta Menteri Dalam Negeri, Kapolri dan Kejaksaan Agung agar mencabut nota kesepakatan tersebut.
Alasannya, aturan itu menjadi celah lolosnya koruptor dana desa di daerah-daerah.
Dia mengingatkan jika nota kesepahaman itu tetap dipertahankan, akan lebih banyak lagi para Kades yang bebas dari hukuman penjara.
Fenomena seperti itu tidak hanya terjadi di NTT tetapi juga di tempat lain di negara ini.
“Kasihan dana desa jika ujung pelaporan masyarakat hanya masuk pelanggaran administratif. Para Kades akan pesta pora di desa-desa dengan menggaruk dana desa sebesar-besarnya. Toh kalau ada laporan, paling hanya masuk pelanggaran administratif. Padahal dana yang dikorup sangat besar,” tutup Abraham.