TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, pihaknya masih akan menunggu kewenangan Presiden RI Joko Widodo dalam menyikapi pemecatan 56 pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
Hal itu merupakan upaya YLBHI sebelum nantinya menempuh langkah hukum.
Sebagai informasi, YLBHI juga merupakan tim kuasa hukum seluruh pegawai KPK yang tak lolos TWK.
Kini para pegawai KPK itu dikabarkan telah mengantongi surat pemecatan yang ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri.
"Kalau ditanya (soal langkah hukum), kami ingin menunggu atau menanti pak Presiden untuk menjalankan kewenangannya, begitu," kata perempuan yang karib disapa Asfin itu dalam diskusi bersama ICW secara daring, Minggu (19/9/2021).
Baca juga: Ombudsman: Presiden Tidak Bisa Abaikan Rekomendasi Terkait TWK Pegawai KPK
Dirinya lantas menyinggung keputusan Presiden Jokowi yang mengirimkan surat presiden untuk membahas revisi Undang-Undang KPK 2019 lalu.
Di mana kata Asfin dalam Undang-Undang tersebut, telah menjadikan KPK masuk ke dalam rumpun Eksekutif yang berarti berada di bawah kewenangan Presiden.
Padahal jika Presiden Jokowi tidak mengirimkan surat presiden untuk membahas revisi UU KPK itu, maka kata Asfin, orang nomor satu di Indonesia itu bisa lebih leluasa dengan mengatakan bahwa KPK itu lembaga independen.
Jadi kata dia, kewajiban presiden lebih bersifat etis bahwa sebagai kepala pemerintahan, dan tata negara.
"Tapi dengan revisi UU KPK dimasukkan menjadi rumpun eksekutif maka dia (presiden) betul-betul menjadi pimpinan tertinggi secara hukum positif bukan hanya secara etika politik," ucap Asfin.
Baca juga: Pakar Nilai TWK Hanya Jadi Alibi Penguasa Singkirkan Pegawai KPK
Oleh karenanya kata dia, hingga kini pihaknya masih menunggu wewenang dari Presiden Jokowi yang sebagaimana juga telah menerima rekomendasi dari Komnas HAM untuk dapat menyikapi sengkarut di lembaga antirasuah tersebut.
Sebab jika tidak, kata Asfin, maka akan ada dua kemungkinan buruk yang tercermin dalam kepemimpinan Presiden Jokowi yakni ketidakmampuan dan ketidakmauan.
"Kalau tidak mampu, apakah ini artinya melambaikan bendera putih? tidak mampu lagi menjadi kepala pemerintah di rumpun eksekutif itu, kalau tidak mau, ini sama saja buruknya begitu," ucap Asfin.
"Jadi kami tidak akan mengambil langkah hukum sementara, karena kami masih menunggu supaya kita bisa lihat bagaimana etika bernegara dan hukum kita ini, jangan sampai ada revisi undang-undang lalu yang mau revisi malah kemudian ketika ternyata gak enak hasil revisinya kemudian lepas tanggung jawab," tukasnya.