TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji Budi Darmawan mengatakan, biaya umrah yang sudah ditetapkan sebesar Rp 26 juta diprediksi bakal bertambah.
Tambahan biaya ini dikarenakan adanya aturan karantina, pemeriksaan PCR, dan asuransi.
Menurutnya, peningkatan biaya umrah yang sebelumnya Rp 26 juta, akan naik jadi di atas Rp 30 jutaan.
"Kemungkinan akan ada kenaikan 30 persen lagi. Jadi bisa di atas Rp 30 jutaan. Itu hanya sekadar gambaran yang harus dipersiapkan," kata Budi dalam diskusi virtual dikutip dari Kompas.com, Kamis (21/10/2021).
Aturan karantina dan PCR datang dari pemerintah Arab Saudi.
Jemaah Indonesia diharuskan melakukan karantina selama lima hari, melakukan pemeriksaan PCR, dan biaya asuransi.
"Kenaikan bukna dari harga paket. Tapi karena aturan-aturan yang dibuat baik itu dari karantinanya, PCR di Indonesia maupun asuransi, PCR yang harus diterapkan oleh pemerintah Saudi," ujarnya.
Baca juga: Kemenag Upayakan Biaya Umrah di Masa Pandemi Covid-19 Bisa di Bawah Rp 26 Juta
Dia mengimbau para jemaah yang sudah melakukan pembayaran biaya umrah kepada pihak Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) untuk menghitung kembali.
"Sehingga jemaah-jemaah kemarin sudah melakukan pembayaran kepada pihak PPU juga harus menghitung kembali," ucapnya.
Diberitakan sebelumnya umrah untuk para jemaah asal Indonesia sudah dibuka kembali.
Dalam nota diplomatik Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta, 8 Oktober 2021 silam terdapat ketentuan bagi jemaah umrah yang tak memenuhi standar kesehatan.
"Nota diplomatik juga menyebutkan, mempertimbangkan masa periode untuk karantina selama 5 hari bagi para jemaah umrah yang tidak memenuhi standar kesehatan yang dipersyaratkan," kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam konferensi pers secara daring pada Sabtu (9/10/2021) sore.
Upayakan biaya dibawah Rp26 juta
Kementerian Agama akan mengupayakan agar biaya minimal paket perjalanan ibadah umrah bagi calon jemaah asal Indonesia di tengah pandemi virus corona (Covid-19) bisa kurang dari Rp 26 juta.
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 777 Tahun 2020, biaya referensi penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah (BPPIU) di masa pandemi ditetapkan sebesar Rp 26 juta.
Peraturan itu diteken oleh Menteri Agama 2019-2020, Fachrul Razi 16 Desember 2020 lalu.
"Mungkin biayanya agak sedikit lebih murah (dari sebelumnya Rp 26 juta)," kata Kepala Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Kemenag, Noer Alya Fitra di Hotel Ochardz Jakarta, Selasa (19/10/2021).
Sampai saat ini Kemenag masih menggodok biaya minimal paket umrah tersebut dengan sejumlah pihak.
Dengan adanya sejumlah kebijakan pelonggaran di masa pandemi, harga berpeluang mengalami penurunan.
"Memang saat itu dibahas secara bersama, poin per poin, akomodasi berapa, maskapai penerbangan berapa, termasuk biaya karantina," kata dia.
Noer mengakui pandemi Covid-19 telah berimbas pada kenaikan biaya referensi umrah sekitar 30 persen pada 2020 lalu. Namun, ia menyatakan kemungkinan besar biaya referensi umrah saat ini masih bisa berubah lagi.
Baca juga: Kemenag, Kemenkes dan Asosiasi Penyelenggara Perjalanan Sepakati Skema Umrah, Begini Rinciannya
Noer menjelaskan faktor yang bisa membuat penurunan biaya umrah karena karantina jemaah akan memanfaatkan asrama Asrama Haji milik Kemenag.
Sementara itu, biaya umrah saat ini masih mempertimbangkan penggunaan hotel untuk karantina. Karenanya harga umrah yang kini tengah digodok akan lebih terjangkau karena diupayakan tidak karantina di hotel.
Faktor lainnya yakni soal durasi karantina yang lebih pendek. Sebelumnya, paket umrah dihitung dengan masa karantina delapan hari di Indonesia dan tiga hari selama tiba di Saudi.
"Tapi kalau sekarang ini misalnya ada di asrama selama 5 hari. Namun PCR yang agak banyak. Tapi kami akan melakukan pembahasan bersama dengan asosiasi untuk mendapatkan berapa biaya yang paling realistis terkait referensi biaya umrah," tambahnya.
Kemenag sendiri melalui Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) sudah berdiskusi dengan asosiasi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) terkait penyelenggaran ibadah umrah di masa pandemi.
FGD itu dihadiri Dirjen PHU Hilman Latief beserta jajarannya, Kapuskes Haji Kemenkes bersama Koordinator pada Direktorat Surveilance dan Karantina Kesehatan.
Sementara dari Asosiasi hadir perwakilan Himpuh, Asphurindo, Amphuri, Kesthuri, Sapuhi, Ampuh, Gapura, dan Asphuri.
Hilman mengatakan, penyelenggaran ibadah umrah selama ini diselenggarakan PPIU, sehingga Kemenag perlu berdiskusi dengan mereka merumuskan skema penyelenggaraan ibadah umrah di masa pandemi.
"Pertemuan ini menyepakati bahwa gelombang awal ibadah umrah di masa pandemi akan memberangkatkan para petugas PPIU dengan syarat sudah divaksin dosis lengkap dengan vaksin yang diterima otoritas kesehatan Arab Saudi," ujar Hilman.
"Kesepakatan lainnya, PPIU yang berencana memberangkatkan agar segera menyerahkan data jemaahnya kepada Ditjen PHU," sambungnya.
Pemerintah dan PPIU juga sepakat pemberangkatan dan pemulangan jamaah umrah dilakukan satu pintu melalui Asrama Haji Pondok Gede atau Bekasi.
Nantinya jemaah umrah akan menjalani karantina di Asrama Haji Pondok Gede atau Bekasi sebelum dan sesudah keberangkatan.
Terkait aturan karantina itu, Inisiator Perkumpulan Travel Umrah Haji Indonesia (PATUHIN) Muhammad Dawood sempat menyampaikan keberatannya. Dawood menolak rencana pemerintah menerapkan sistem umrah satu pintu.
"Kami menolak umrah satu pintu dan karantina sebelum berangkat tiga hari, dan pulang lima hari," ujar Dawood di Jakarta, Selasa (19/10/2021).
Menurutnya, Kemenag lebih baik menyerahkan masalah keberangkatan jemaah kepada biro travel atau PPIU.
Penerapan karantina, menurut Dawood, akan menimbulkan biaya tambahan yang dapat membebankan para jemaah.
Baca juga: Kemenag Siapkan Regulasi Referensi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Umrah
"Bebankan saja kepada kami, kalau misalkan ada salah beri sanksi saja," tuturnya.
Dawood juga mempertanyakan kebijakan karantina bagi jemaah umrah dari Indonesia. Pasalnya, menurut Dawood, Pemerintah Arab Saudi sudah melonggarkan kegiatan warganya dengan tidak ada lagi jaga jarak ketika berada di dalam ruangan dan acara keramaian lainnya.
"Dalam hal ini kita minta pertimbangan Ditjen PHU bagaimana caranya melobi Kerajaan Arab Saudi. Jemaah Indonesia diwajibkan karantina, sementara negara lain kok enggak harus ribet," katanya.
Meski begitu, Dawood mempersilakan jika pemerintah hendak melakukan simulasi terhadap pelaksanaan umrah. Namun ia meminta simulasi dilakukan kepada Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
"Simulasi untuk PPIU tidak apa-apa. Tapi tidak untuk jemaah," tutur Dawood.
>