Organisasi tersebut bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan pemilik sekolah.
Para anggota umumnya bertugas di sekolah desa dan sekolah rakyat angka dua.
Kesulitan dalam memperjuangkan nasib para anggotanya pun dirasakan oleh PGHB sehingga berkembanglah organisasi guru baru.
Organisasi tersebut antara lain Persatuan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Guru Desa (PGD), Persatuan Guru Ambachtsschool (PGAS), Perserikatan Normaalschool (PNS), dan Hogere Kweekschool Bond (HKSB).
Selain itu adapula organisasi guru yang bercorak keagamaan seperti Christelijke Onderwijes Vereneging (COV), Katolieke Onderwijsbond (KOB), Vereneging Van Muloleerkrachten (VNM), dan Nederlands Indische Onderwijs Genootschap (NIOG).
Akibat kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan maka para guru memperjuankgan persamaan hak dan posisi terhadap pihak Belanda.
Semangat tersebut pun semakin berkobar dan telah mengubah perjuangan guru tidak hanya perbaikan nasib tetapi perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda.
Lalu pada tahun 1932, PGHB pun diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) dan sontak membuat pemerintah Belanda kaget dan tidak senang atas adanya perubahan nama organisasi tersebut.
Namun setelah Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda di Indonesia, segala organisasi pun dilarang hingga sekolah ditutup sehingga berdampak pula terhadap mandegnya aktifitas PGI.
Singkat cerita setelah proklamasi pada 17 Agustus 1945, para guru menyelenggarakan Kongres Guru Indonesia pada 24-25 November 1945 di Surakarta.
Kongres ini pun juga menjadi awal berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Pada kongres tersebut terdapat tiga tujuan yang ingin dicapai yaitu:
1. Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia.
2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan.