Dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama ini, Nyonya Sukonto terpilih menjadi ketua sebagai wakil dari Wanito Utomo.
Dalam menjalankan tanggung jawabnya, Nyonya Sukonto dibantu oleh Panitia Kongres Perempuan Pertama, di antaranya:
- Siti Munjiah (Wakil Ketua);
- Siti Sukaptinah (Sekretaris I);
- Siti Sunaryati (Sekretaris II);
- R.A. Harjodiningrat (Bendahara I);
- R.A. Sujatien (Bendahara II);
- Ny Hajar Dewantoro (Anggota);
- Beberapa anggota lain yaitu Driyowongso, Muridan, Umi Salamah, Johanah, Budiah Muryati, Hajinah, Ismudiyati, dan R.A. Mursandi.
Kongres Perempuan Pertama yang dimulai Sabtu malam 22-23 Desember 1928 dihadiri lebih dari seribu orang, merupakan wakil 30 organisasi wanita dari seluruh Jawa dan Sumatera serta beberapa organisasi kaum laki-laki.
Kemudian, kongres ini ternyata mendapat perhatian khusus dari intel pemerintah kolonial Belanda.
Nyonya Sukonto dipanggil oleh intel pemerintah kolonial untuk menjawab berbagai pertanyaan.
Perlu diketahui, pemrakarsa Kongres Perempuan pertama adalah Nyonya Sukonto, Nyi Hajar Dewantoro, dan Nona Sujatien (Alm. lbu Kartiwiyono).
Mereka didukung oleh tujuh organisasi wanita yaitu Wanito Utomo, Wanito Taman Siswo, Putri Indonesia, Wanita Katholik, Jong Java (bagian gadis-gadis Meisjeskieng), Aisyiyah, dan JIBDA (Jong lslamieten Bond Domes Afdeeling bagian wanita).
Keputusan-keputusan Kongres Perempuan Pertama
- Mendirikan badan pemufakatan dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).
- Didirikan studie fonds (dana studi) untuk anak-anak perempuan yang tidak mampu membayar biaya sekolah dan berusaha memajukan kepanduan putri.
- Mencegah perkawinan di bawah umur.
Tiga mosi kepada Pemerintah Belanda
- Penambahan sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan.
- Supaya pada pernikahan pemberian keterangan tentang taklik (janji dan syarat-syarat perceraian) diwajibkan.
- Diadakan peraturan sokongan untuk janda-janda dan anak-anak piatu pegawai negeri.
Pencetusan Kongres Perempuan Indonesia
Setelah satu minggu dari hasil pertemuan organisasi-organisasi wanita, komite kongres terbentuk dan diberi nama Kongres Perempuan Indonesia.
Berdirinya komite kongres ini mendapat tantangan, rintangan, dan kritik yang tajam dari berbagai pihak.
Tantangan itu dilontarkan oleh kaum kuno (kolot) serta kritik yang bersikap menentang.
Lontaran kritik kaum kolot terhadap niat yang dipelopori Nyonya Sukonto dan teman-temannya itu antara lain mengatakan bahwa kaum isteri tidak perlu berkongres-kongresan.
Mereka menilai, tempat kaum isteri hanyalah di dapur.
Kaum puteri tidak perlu memikirkan hal penghidupan, sebab hal itu menjadi kewajiban kaum laki-laki.
Selain itu, mereka menilai kaum isteri Indonesia belum matang dan belum dapat berdamai dalam perkumpulan.
Nyonya Sukonto dalam pidato pembukaan kongres secara tegas mengingatkan di hadapan para peserta bahwa orang yang ingin mencapai suatu tujuan tertentu harus berani membantah semua kritik.
Untuk itu, Nyonya Sukonto selalu mengajak kaum puteri yang menghendaki kemajuan agar pekerjaan itu dilakukan dengan penuh kejujuran.
Ia mengatakan, sudah saatnya kepentingan kaum puteri zaman kegelapan diangkat.
Kaum isteri hendaklah jangan hanya dianggap baik di dapur saja.
Pemikiran itu menurut Nyonya Sukonto sudah usang.
Kaum isteri hendaknya dapat mengikuti tuntutan zaman dan diangkat derajatnya serta laki-laki dan perempuan harus berjalan bersama dalam pergaulan hidup.
Peristiwa bersejarah ini selanjutnya diperingati sebagai Hari Ibu.
Kegiatan Nyonya Sukanto setelah tidak menjadi ketua Kongres Perempuan Pertama dan akhir hidupnya
Setelah tidak menjabat ketua PPI, Nyonya Sukonto aktif kembali di Wanito Utomo Yogyakarta sampai ia pindah ke Jakarta pada tahun 1929 untuk mendampingi suami.
Di Jakarta, ia masih menjadi anggota PPI.
Pada tahun 1931, Nyonya Sukonto aktif dalam pergerakan wanita.
Ia juga mendirikan asrama khusus untuk wanita, baik yang sedang belajar ataupun yang tidak bekerja agar mereka mendapat tempat tinggal yang murah dan terurus dengan baik.
Sebagai informasi, dokter Sukonto meninggal dunia pada 19 Juni 1968 di Yogyakarta.
Setahun kemudian, tepatnya 5 November 1969 Nyonya Sukonto juga meninggal di kota yang sama setelah menderita sakit jantung.
Nyonya Sukonto dan suaminya disemayamkan di pemakaman keluarga di Payaman dekat Magelang.
(Tribunnews.com/Katarina Retri)
Artikel lainnya terkait Hari Ibu