Ia merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri dan didiagnosa obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya.
Baca juga: Sosok Bripda Randy, Oknum Polisi yang Hamili Mahasiswi Mojokerto, Kini Jadi Tersangka dan Ditahan
“Menyegerakan pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang meneguhkan komitmen negara dalam pelaksanaan tanggung jawab pemulihan korban, selain memutus impunitas, adalah langkah mendesak,” tulis pernyataan Komnas Perempuan.
Mengembangkan ekosistem dukungan bagi korban juga tidak lagi dapat ditunda: dari keluarga hingga bagi lembaga-lembaga yang menyelenggarakan layanan, mulai dari desa hingga nasional.
Komnas Perempuan menyatakan kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah jenis kasus kekerasan di ruang privat/personal yang ketiga terbanyak dilaporkan.
Pada kurun 2015-2020 tercatat 11.975 kasus yang dilaporkan oleh berbagai pengada layanan di hampir 34 Provinsi, sekitar 20% dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat.
Dalam kurun waktu yang sama, rata-rata 150 kasus per tahun dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan.
Kasus ini seringkali berakhir dengan kebuntuan diproses hukum.
Latar belakang relasi pacaran kerap menyebabkan peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban dianggap sebagai peristiwa suka sama suka.
Dalam konteks pemaksaan aborsi, justru korban yang dikriminalkan sementara pihak laki-laki lepas dari jeratan hukum.
“Dalam kasus NWR, korban telah berupaya meminta bantuan untuk menyikapi peristiwa kekerasan yang ia alami. Korban telah berkonsultasi dengan dua lembaga bantuan hukum di daerahnya yang menyarankan korban untuk segera melaporkan tindakan pelaku ke Propam. Juga, dengan mengadukan kasusnya kepada Komnas Perempuan di tengah Agustus 2021,” tulis pernyataan itu.