TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekjen Rekat Indonesia, Heikal Safar mendukung penuh langkah Jaksa Agung menuntut hukuman mati untuk terdakwa korupsi Asabri.
Heikal menilai, seluruh elemen masyarakat Indonesia sudah sangat geram terhadap ulah para koruptor yang mengrogoti uang rakyat Indonesia.
"Saya minta Jaksa Agung segera membuktikannya rencana penerapan tuntutan hukuman mati terhadap para koruptor," kata Heikal dalam keterangan yang diterima, Rabu (15/12/2021).
Dia mengingatkan Jaksa Agung juga jangan hanya lips service atau janji -janji palsu, segera diterapkan dalam proses-proses penuntutan berikutnya.
Menurut Heikal, rencana atau keinginan kuat Burhanuddin selaku Jaksa Agung itu dapat dibuktikan pada penuntutan kasus korupsi yang sedang berjalan saat ini, yakni dugaan tindak pidana korupsi Asabri yang berjalan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat.
"Sudah ada yang di depan mata proses persidangan Asabri yang sedang disidangkan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat segera buktikan laksanakan hukuman mati tersebut," ujar Heikal.
Baca juga: Dituntut Hukuman Mati dalam Kasus Asabri, Heru Hidayat Bacakan Nota Pembelaan Hari Ini
Menurutnya, hukuman mati terhadap koruptor tidak hanya dalam keadaan bencana, tapi juga karena pengulangan.
Atau yang bersangkutan mengulangi perbuatan tindak pidana korupsinya.
"Maka ini saya minta Jaksa Agung menerapkan kehendaknya itu tidak hanya lips service semata sehingga dianggap hanya gertak sambel saja dilakukan tuntutan mati terhadap orang-orang yang melakukan pengulangan korupsi di Jiwasraya maupun Asabri," pintanya.
Lanjut Heikal, bahwa KPK sudah mengingatkan koruptor saat bencana dapat diancam dengan hukuman mati.
"Tuntutan hukuman mati terhadap koruptor ini harus tetap dilakukan Kejaksaan Agung, meskipun pada akhirnya pengadilan memutuskan berbeda," kata Heikal Safar
Lanjut Heikal Safar juga mendorong penegak hukum supaya tim penyidik Kejaksaan Agung menyita sejumlah aset para terdakwa, termasuk aset Benny dan Heru.
Diketahui, Jaksa penuntut umum (JPU) menjatuhkan tuntutan pidana terhadap pihak swasta dalam hal ini Komisaris PT Trada Alam Mineral (TRAM) Heru Hidayat.
Pembacaan tuntutan itu dibacakan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (6/12/2021).
Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan terdakwa Heru secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dakwaan pertama dan dakwaan kedua primer dari Jaksa.
"Menyatakan terdakwa Heru terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer pasal Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahaan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana," kata jaksa dalam persidangan, Senin (6/12/2021).
"Serta, pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang," lanjut jaksa.
Atas hal itu, jaksa menjatuhkan tuntutan terhadap Heru yang dinilai melakukan tindak pidana luar biasa atau extra ordinary crime dengan pidana hukuman mati.
Penjatuhan tuntutan ini juga dilayangkan jaksa mengingat karena Heru juga merupakan terpidana pada kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya yang telah merugikan negara Rp 16 Triliun, dimana dia divonis hukuman seumur hidup.
"Kami menuntut supaya majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada PN Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi terhadap terdakwa Sony Wijaya untuk memutuskan, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Heru Hidayat dengan hukuman mati," tuntut jaksa.
Tak hanya menjatuhkan tuntutan hukuman pidana, jaksa juga menuntut Heru untuk membayar uang pengganti yang telah dinikmati atas perbuatannya yakni senilai Rp 12,6 Triliun.
Jika tidak mampu membayar uang pidana pengganti tersebut maka seluruh harta benda Heru akan disita untuk menutupi pidana uang pengganti.
"Membayar uang pengganti sebesar Rp 12,64 triliun dengan ketentuan tidak dibayar sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk uang pengganti tersebut," ucap jaksa.