Selama ini hukuman mati di Indonesia lebih cenderung digunakan sebagai narasi populis, seolah-olah negara telah bekerja efektif dalam menanggulangi kejahatan, termasuk korupsi.
Padahal faktanya tidak ada satu pun permasalahan kejahatan yang dapat diselesaikan dengan menjatuhkan pidana mati.
Contoh paling konkrit misalnya dari praktik kebijakan narkotika dengan mengusung slogan perang terhadap nakotika sejak 2015 yang secara agresif menerapkan hukuman mati, terbukti sama sekali tidak berimbas pada penurunan angka peredaran gelap narkotika sampai saat ini.
Sektor narkotika yang selalu menggunakan narasi hukuman mati merupakan salah satu sektor penegakan hukum dan perlindungan warga negara paling bermasalah menurut banyak penelitian di Indonesia.
Tuntutan hukuman mati JPU terhadap terdakwa kasus Asabri Heru Hidayat juga sudah disoroti dan dikritik oleh LSM pegiat antikorupsi dan HAM seperti Indonesia Corruption Watch (ICW).
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana hukuman mati bukan merupakan jenis pemidanaan yang ideal bagi pelaku korupsi.
Menurut dia, belum ada literatur ilmiah yang bisa membuktikan hukuman mati dapat menurunkan angka korupsi di suatu negara.
Justru negara-negara yang menempati posisi puncak dalam Indeks Persepsi Korupsi tidak memberlakukan hukuman mati.
“Bagi ICW, hukuman ideal bagi pelaku korupsi adalah kombinasi antara pemenjaraan badan dengan perampasan aset hasil kejahatan atau sederhananya dapat diartikan pemiskinan. Sayangnya, dua jenis hukuman itu masih gagal diterapkan maksimal," ujar Kurnia kepada wartawan, Rabu (8/12/2021) lalu.
Kurnia juga mengaku kaget dengan tuntutan hukuman yang tinggi oleh JPU dalam perkara Jiwasraya dan Asabri.
Sementara tuntutan JPU dalam kasus yang melibatkan jaksa, seperti kasus Pinangki Sirna Malasari, termasuk rendah.
“ICW cukup kaget dengan sikap Jaksa Agung, kenapa perkara-perkara seperti Jiwasraya dan Asabri tuntutannya sangat tinggi, sedangkan terhadap Pinangki yang notabene berprofesi sebagai penegak hukum melakukan banyak kejahatan, dan bekerja sama dengan buronan malah sangat rendah?” kritik Kurnia.