TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar Wicaksana menilai secara prinsip dan yuridis-positivis, tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus Asabri Heru Hidayat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak bisa diterapkan.
Menurut Dio, hakim Pengadilan Tipikor juga bakal tidak menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap Heru Hidayat jika majelis hakim benar-benar berpatokan pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Harapannya Hakim menjatuhkan vonis sesuai Perma Nomor 1 Tahun 2020 itu saja. Kalau hukuman mati dalam kasus Asabri ini, Tidak masuk (tidak bisa diterapkan) jika hakim merujuk betul pada Perma Nomor 1 Tahun 2020,” ujar Dio kepada wartawan, Minggu (16/1/2022).
Menurut Dio, tindak pidana korupsi dalam kasus Asabri tidak masuk kategori tindak pidana dalam keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dengan ancaman hukuman mati.
Baca juga: Dua Terdakwa Asabri Divonis 10 dan 13 Tahun Bui, Hakim Bicara Soal Perbuatan Terencana - Terstruktur
Keadaan tertentu tersebut adalah bencana nasional, kondisi krisis ekonomi-moneter dan pengulangan tindak pidana.
“Kalau kasus Asabri kan tidak masuk dalam kondisi tertentu itu. Jadi, secara undang-undang juga tidak tepat (dijatuhi hukuman mati). Kalau mengikuti pedoman Perma Nomor 1 Tahun 2020, kasus Asabri tidak masuk dalam kondisi tertentu. Walaupun hakim bisa menyimpangi pedoman tersebut, tetapi syarat ketat,” tandas Dio.
Selain itu, kata Dio secara prinsip hukuman mati tidak relevan karena tidak berdampak pada penurunan angka kriminal atau tindak pidana.
Menurut dia, hukuman mati tidak akan memberikan efek jera kapada pelaku tindak pidana korupsi.
“Kalau korupsi, sebenarnya yang menjadi hal utama adalah kerugian negara akibat tindakan korupsi itu. Jadi, menurut saya tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus korupsi tidak akan menyelesaikan akar masalah dari kasus korupsi. Seharusnya yang paling penting menurut saya, kejar asetnya atau bagaimana kerugian negara yang terjadi akibat perbuatan itu bisa kembali ke negara lagi,” pungkas Dio.
Sebelumnya, The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) membuat laporan terkait kebijakan hukuman mati 2020 “Mencabut Nyawa di Masa Pandemi” yang dikeluarkan pada Oktober 2020.
Dalam laporan tersebut ICJR telah menekankan bagaimana penjatuhan hukuman mati sama sekali tidak mempunyai dampak positif terhadap pemberantasan korupsi di suatu negara.
Hal ini terbukti berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2019, negara-negara yang menduduki peringkat puncak atas keberhasilannya menekan angka korupsi nyatanya tidak sama sekali memberilakukan pidana mati sebagai pemidanaan bagi tindak pidana korupsi seperti Denmark, Selandia Baru, dan Finlandia.
Kemudian Singapura yang juga tidak menerapkan hukuman mati untuk kasus korupsi berhasil menjadi negara dengan ranking IPK tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Sebaliknya, negara-negara yang masih menerapkan pidana mati termasuk untuk kasus korupsi malah memiliki nilai IPK yang rendah dan berada di ranking bawah termasuk Indonesia (peringkat 85), Cina (peringkat 80), dan Iran (peringkat 146).
Selama ini hukuman mati di Indonesia lebih cenderung digunakan sebagai narasi populis, seolah-olah negara telah bekerja efektif dalam menanggulangi kejahatan, termasuk korupsi.
Padahal faktanya tidak ada satu pun permasalahan kejahatan yang dapat diselesaikan dengan menjatuhkan pidana mati.
Contoh paling konkrit misalnya dari praktik kebijakan narkotika dengan mengusung slogan perang terhadap nakotika sejak 2015 yang secara agresif menerapkan hukuman mati, terbukti sama sekali tidak berimbas pada penurunan angka peredaran gelap narkotika sampai saat ini.
Sektor narkotika yang selalu menggunakan narasi hukuman mati merupakan salah satu sektor penegakan hukum dan perlindungan warga negara paling bermasalah menurut banyak penelitian di Indonesia.
Tuntutan hukuman mati JPU terhadap terdakwa kasus Asabri Heru Hidayat juga sudah disoroti dan dikritik oleh LSM pegiat antikorupsi dan HAM seperti Indonesia Corruption Watch (ICW).
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana hukuman mati bukan merupakan jenis pemidanaan yang ideal bagi pelaku korupsi.
Menurut dia, belum ada literatur ilmiah yang bisa membuktikan hukuman mati dapat menurunkan angka korupsi di suatu negara.
Justru negara-negara yang menempati posisi puncak dalam Indeks Persepsi Korupsi tidak memberlakukan hukuman mati.
“Bagi ICW, hukuman ideal bagi pelaku korupsi adalah kombinasi antara pemenjaraan badan dengan perampasan aset hasil kejahatan atau sederhananya dapat diartikan pemiskinan. Sayangnya, dua jenis hukuman itu masih gagal diterapkan maksimal," ujar Kurnia kepada wartawan, Rabu (8/12/2021) lalu.
Kurnia juga mengaku kaget dengan tuntutan hukuman yang tinggi oleh JPU dalam perkara Jiwasraya dan Asabri.
Sementara tuntutan JPU dalam kasus yang melibatkan jaksa, seperti kasus Pinangki Sirna Malasari, termasuk rendah.
“ICW cukup kaget dengan sikap Jaksa Agung, kenapa perkara-perkara seperti Jiwasraya dan Asabri tuntutannya sangat tinggi, sedangkan terhadap Pinangki yang notabene berprofesi sebagai penegak hukum melakukan banyak kejahatan, dan bekerja sama dengan buronan malah sangat rendah?” kritik Kurnia.