Berbeda halnya dengan kasus impor dari luar negeri, ada sejumlah aturan yang diberlakukan seperti melakukan tes RT-PCR, karantina dan isolasi sehingga kasus bisa ditemukan.
"Kita tidak menghindar dari transmisi lokal, yang bisa itu membatasi kasus impor. Sehingga bisa terkendali dan memberikan waktu kepada kita menyiapkan dan mengendalikan penyebarannya," kata Nadia melalui pesan singkatnya kepada Tribunnews.com, Selasa (18/1/2022).
Hal senada juga diungkap Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, Dicky Budiman.
Ia mengatakan, tak hanya di Indonesia yang sulit mencegah penularan kasus transmisi lokal ini, negara maju pun mengalami hal serupa.
"Memang kesulitan dan negara maju pun sulit mencegah ini karena mayoritas 90 persen tidak bergejala dan tidak terdeteksi. Orang tidak merasa, enggak sakit, ditambah lagi kemampuan mendeteksi kita terbatas. 3 T Indonesia terbatas menurut saya relatif rendah di ASEAN," ungkapnya kepada Tribunnews.com.
Selain itu, varian omicron memiliki tingkat penularan 4 kali lebih cepat.
Artinya bisa saja ada kasus impor yang tidak terdeteksi sebelumnya.
"Karena tidak kuatnya karantina kita sebelumnya kurang dari 7 hari. Kemudian juga kita tahu bahwa masa inkubasi dari omicron ini bukan selalu semua di bawah 7 hari bahkan ada di atas 10 hari bahkan yang sampai menjelang 2 bulan," kata Dicky.
"Artinya ya potensi itu masuk dan beredar di domestik menjadi besar dan tinggal menunggu waktu dan sekarang dengan sudah terdeteksi kasus di transmisi lokal ini perkara waktu untuk omicron berkembang bertumbuh lebih banyak dengan pola eksponensial itu," sambung dia. (*)