TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketidaksepahaman yang masih terjadi antar kementerian dan lembaga terkait adanya rencana perubahan Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan harus diselesaikan dalam pembahasan antar Kementerian (PAK) beresiko masuk ranah Judicial Review jika prosesnya dilakukan.
Sebaiknya ada semacam ruang penyelesaian ketidaksepakatannya sebelum tahap harmoniasasi, dengan mempertemukan pihak-pihak terkait saja, tidak perlu seluruh kementerian dan lembaga (K/L).
Hal itu disampaikan Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi.
“Jadi, sebelum ada kesepakatan antar kementerian dan lembaga terkait, maka harusnya ditunda dulu harmonisasinya. Karena, itu berarti secara substansi belum dapat disepakati K/L terkait,” ujarnya seperti dikutip, Sabtu (29/1/2022).
Baca juga: Komnas PA Nilai Rencana Pelabelan BPA Pada Galon Isi Ulang Tepat untuk Lindungi Kesehatan Anak
Sayangnya, proses harmonisasi telah dilakukan di awal Januari ditengah adanya ketidaksepakatan dari beberapa pemangku kepentingan dan belum dilakukannya Regulatory Impact Analysis.
Fajri menegaskan bahwa selayaknya pembentukan suatu peraturan, prosesnya harus dilakukan secara transparan dan partisipatif.
Apalagi kalau peraturannya itu akan mengikat pihak luar institusi pembentuknya.
Karena revisi Peraturan BPOM itu sudah masuk harmonisasi dan sudah dikirim ke Kantor Seskab, menurut Fajri, sebaiknya Kemenkumham jika diloloskan akan ada beberapa resiko.
“Apabila tetap dilanjutkan prosesnya sampai kemudian disahkan, pengujian Peraturan Menteri/Kepala Lembaga itu bisa dibawa ke Mahkamah Agung karena dianggap bertentangan dengan UU,” katanya.
Baca juga: Dokter Spesialis Anak Sebut Tidak Ada Hubungan Autisme dengan Air Galon Polikarbonat
Namun, dia mengatakan akan sangat disayangkan apabila yang mengajukan itu adalah bagian dari pemerintah juga yang sejatinya tidak setuju kehadiran peraturan itu.
“Jadi, menurut saya, sebaiknya permasalahan itu diselesaikan dalam proses pembentukannya di internal pemerintah sebelum disahkan,” tukasnya.
Seperti diketahui, Kementerian Perindustrian dengan tegas menolak Peraturan PBOM yang akan melakukan pelabelan BPA terhadap galon polikarbonat.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintegar), Edy Sutopo, dengan tegas mengatakan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tidak setuju dengan adanya peraturan BPOM mengenai sertifikasi atau labelisasi BPA pada kemasan galon polikarbonat.
Baca juga: Truk Alami Pecah Ban hingga Terguling, Muatan Galon Air Mineral Berhamburan di Jalan Benyamin Sueb
Menurutnya, sertifikasi BPA itu hanya akan menambah cost yang mengurangi daya saing Indonesia.
“Jadi, menurut kami sertifikasi BPA saat ini belum diperlukan. Sertifikasi BPA itu hanya akan menambah cost atau mengurangi daya saing Indonesia,” ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kata Edy, substansi isunya sendiri masih debatable.
“Sebenarnya, yang diperlukan itu adalah edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana cara handling dan penggunaan kemasan yang menggunakan bahan penolong BPA dengan benar. Jadi, bukan malah memunculkan masalah baru yang merusak industri,” ucapnya.
“Yang saya herankan, kenapa kita sering terlalu cepat mewacanakan suatu kebijakan tanpa terlebih dahulu mengkaji secara mendalam dan komprehensif berbagai aspek yang akan terdampak,” cetusnya lagi.
Dia mengutarakan seharusnya BPOM perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan itu.
Misalnya, kata Edy, BPOM harus melihat negara mana yang sudah meregulasi terkait BPA ini, adakah kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia ataupun di dunia terkait dengan kemasan yang mengandung BPA ini, serta adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan.
“Itu pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum BPOM mewacanakan kebijakan terkait kemasan pangan yang mengandung BPA itu. Dalam situasi pandemi, dimana ekonomi sedang terjadi kontraksi secara mendalam, patutkah kita menambah masalah baru yang tidak benar-benar urgen?” tukasnya mempertanyakan wacana kebijakan BPOM itu.
Baca juga: Bisa Habiskan 30 Galon Air Sekali Minum, Ternyata Unta Tidak Gunakan Punuknya Untuk Menampung Air
Dia juga menyoroti dampak yang akan ditimbulkan kebijakan itu nantinya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing yang jumlahnya tidak sedikit dan terhadap psikologis konsumen.
“Bagaimana dampaknya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing yang jumlahnya tidak sedikit? Bagaimana dengan dampak psikologis masyarakat yang selama ini mengkonsumsi kemasan guna ulang?” tuturnya.
Seharusnya, kata Edy, BPOM perlu lebih berhati-hati dalam melakukan setiap kebijakan yang akan berdampak luas terhadap masyarakat.
“Mestinya setiap kebijakan harus ada RIA (Risk Impact Analysis) yang mempertimbangkan berbagai dampak, antara lain teknis, kesehatan, keekonomian, sosial, dan lain-lain,” katanya.