Yakni seseorang hanya boleh ‘mangulosi’ mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada di bawah.
Misalnya Natoras tu ianakhon (orang tua kepada anak), tetapi tidak sebaliknya.
Jenis ulos yang diberikan juga harus sesuai dengan ketentuan adat.
Kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana, fungsinya tidak bisa bertukar karena tiap ulos bermakna tersendiri.
Misal, jenis ulos Ragidup sebagai simbol kehidupan dan paling tinggi derajatnya ketimbang jenis lain tak bisa sembarangan diberikan selama status orang tersebut belum menikahkan anak, meski ia sedang menghadapi momen penting menjadi mempelai.
Sebagai gantinya, mempelai akan diberi ulos Ragihotang yang bermakna doa.
Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang non-Batak.
Pun digunakan sebagai jimat (tondi) yang diyakini memiliki kekuatan melindungi raga dari hal jahat lewat sisipan doa.
Penempatan ulos yang digunakan pun bermakna, yakni menangkal cuaca panas dan dingin, hingga memperlihatkan status.
Ulos ada yang dikalungkan, digunakan sebagai syal, dilingkarkan ke badan, dan posisi lain seperti pengikat kepala.
Umumnya, ulos yang diselempangkan itu untuk para raja.
Motif ulos bisa berbeda-beda, sesuai kasta dan keturunan.
Sementara soal warna, para raja dan ratu biasa menggunakan emas dan merah.
(Tribunnews.com/Widya)