Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus dugaan ujaran kebencian yang dilakukan Arteria Dahlan terkait penggunaan bahasa Sunda sejauh ini rupanya tidak berpengaruh terhadap elektabilitas PDIP di Jawa Barat.
Buktinya, Lembaga Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei soal elektabilitas partai politik di Provinsi Jawa Barat.
Dalam simulasi terbuka, para responden ditanya "Jika pemilihan anggota DPR diadakan sekarang, partai atau calon dari partai mana yang akan bapak/ibu pilih di antara partai-partai berikut ini?"
Tercatat PDIP berada di urutan pertama lalu diikuti Partai Gerindra dan PKS.
"PDIP mendapat 16 persen, Gerindra mendapat 14,6 persen, disusul PKS 9,2 persen, Golkar 8,1 persen, Demokrat 5,9 persen, dan PKB 5,1 persen," ujar Manager Program SMRC Saidiman Ahmad dalam konferensi pers secara daring, Selasa (15/2/2022).
Baca juga: Ini Alasan Polisi Panggil Pelapor Kasus Arteria Dahlan
Jika dilihat perbandingan antara elektabilitas pada Pemilu 2019 dan survei SMRC terbaru, Saidiman mengatakan hanya PDIP yang mengalami tren kenaikan.
"PDIP sedikit mengalami kenaikan dari 14,3 persen pada Pemilu 2019 menjadi 16 persen, sementara Gerindra mengalami penurunan dari 17,6 persen menjadi 14,8 persen, PKS juga demikian dari 13,3 persen menjadi 9,2 persen," kata dia.
"Golkar dari 13,3 persen menjadi 8,1 persen, Demokrat dari 7,5 persen menjadi 5,9 persen, PKB dari 7,9 persen menjadi 5,1 persen," kata dia.
Berikut urutan elektabilitas partai politik di Jawa Barat dalam temuan SMRC:
1. PDIP: 16 persen
2. Gerindra: 14,8 persen
3. PKS: 9,2 persen
4. Golkar: 8,1 persen
5. Demokrat: 5,9 persen
6. PKB: 5,1 persen
7. Perindo: 2,5 persen
8. PPP: 2,1 persen
9. NasDem: 2 persen
10. PSI: 0,5 persen
11. PAN: 0,4 persen
12. Hanura: 0,3 persen
13. Garuda: 0,2 persen
14. Ummat: 0,1 persen
15. Berkarya: 0,1 persen
16. PBB: 0 persen
17. PKPI: 0 persen
18. Gelora: 0 persen
Tidak Tahu/Tidak Menjawab: 32,7 persen
Diketahui, survei SMRC digelar pada 5-8 Februari 2002 menggunakan metode double sampling dan random digit dialing. Responden yang dapat diwawancarai secara valid adalah sebanyak 801 responden.
Margin of error sebesar kurang lebih 3,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen asumsi simple random sampling.
Kasus Arteria Dahlan Dihentikan
Seperti diketahui, Polda Metro Jaya menyebut laporan terhadap anggota Komisi III DPR RI, Arteria Dahlan terkait dugaan kasus ujaran kebencian tidak memenuhi unsur pidana.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan menjelaskan, kepolisian telah melakukan gelar perkara dengan melibatkan ahli bahasa dan hukum dalam bidang informasi dan transaksi elektronik (ITE).
Dari situ disimpulkan bahwa pernyataan Arteria tidak memenuhi unsur pelanggaran Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang ITE.
Baca juga: Polda Metro Tak Bisa Lanjutkan Kasus Dugaan Ujaran Kebencian yang Jerat Arteria Dahlan, Ini Alasannya...
"Pendapat saudara Arteria Dahlan dalam persoalan ini tidak memenuhi unsur perbuatan ujaran kebencian dan SARA yang diatur dalam Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE," ujar Zulpan kepada wartawan, Jumat (4/2/2022) lalu.
Selain itu, lanjut Zulpan, penyidik dan ahli hukum menyimpulkan bahwa Arteria Dahlan tidak memenuhi pelanggaran UU ITE dalam hal penyebarluasan informasi dalam bentuk video.
Sebab, video yang memuat pernyataan Arteria disiarkan secara langsung secara daring. Tidak transmisikan sendiri oleh Arteria.
"Penyebaran video live streaming komisi 3 DPR RI rapat kerja dengan Jaksa Agung ini tidak dapat dipidana karena bukan saudara Arteria Dahlan yang mentransmisikan video tersebut," ungkap Zulpan.
Di sisi lain, Zulpan memastikan bahwa Arteria Dalhan tidak dapat dijerat pidana terkait pernyataannya dalam rapat kerja komisi III DPR RI bersama dengan Kejaksaan Agung.
Pasalnya, Arteria Dahlan selaku anggota parlemen dilindungi oleh Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau MD3.
"Saudara Arteria Dahlan dapat disampaikan tidak dapat dipidanakan sesuai dengan Pasal 1 dalam UU tersebut," kata Zulpan.
"UU MD3 menyatakan bahwa anggota DPR tidak dapat dituntut dihadapan pengadilan karena pernyataan atau pendapat yang dikemukakan, baik secara lisan maupun tertulis dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR, yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugasnya," sambung Zulpan.
Atas dasar itu, Zulpan memastikan bahwa kepolisian tidak dapat melanjutkan laporan kasus tersebut. Dia menyarankan agar pihak pelapor melaporkan hal tersebut ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI.