TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menyampaikan penjelasan Presiden Joko Widodo atas Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata dalam Rapat Kerja bersama Komisi III DPR RI, Rabu (16/2/2022).
Dalam kesempatan itu, Yasonna menyampaikan beberapa poin penambahan dan penguatan dalam rancangan Hukum Acara Perdata.
Yasonna menjelaskan, sebagai penyempurnaan terdapat norma penguatan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata, yaitu antara lain: pihak-pihak yang menjadi saksi dalam melakukan penyitaan, jangka waktu pengiriman permohonan kasasi, memori kasasi, dan kontra memori kasasi, kepastian waktu pengiriman salinan putusan kasasi ke Pengadilan Negeri.
Kemudian kepastian waktu pengiriman salinan putusan kasasi ke para pihak, syarat kondisi ketika Mahkamah Agung ingin mendengar sendiri para pihak atau para saksi dalam pemeriksaan kasasi, penguatan batas waktu pengiriman berkas perkara peninjauan kembali ke MA, reformulasi pemeriksaan perkara dengan acara singkat, pemeriksaan perkara dengan acara cepat dan reformulasi jenis putusan.
“Penambahan norma yang muncul atas adanya kebutuhan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, antara lain pemanfaatan teknologi dan informasi dan pemeriksaan perkara dengan acara cepat,” kata Yasonna, saat membacakan penjelasan Presiden atas RUU tentang Hukum Acara Perdata, di ruang rapat Komisi III DPR RI.
Ketua Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan DPP PDI Perjuangan itu menjelaskan, pemanfaatan teknologi informasi pada saat pemanggilan pihak yang berperkara dapat dilakukan secara elektronik juga pengumuman penetapan.
Baca juga: Yasonna: Pemerintah Patuhi Putusan MK Tentang UU Cipta Kerja Demi Kepastian Hukum
“Pemanfaatan teknologi dan infomasi ini dapat mempersingkat waktu, mempermudah akses, dan data pemanggilan pihak yang berperkara secara otomatis dapat tersimpan dalam sistem informasi,” ujar Yasonna.
“Ini menjadikan proses pemanggilan lebih efektif dan efisien. Perkembangan teknologi dan informasi berdampak pada perluasan alat bukti yang mengacu pada UU ITE yang telah mengatur keberadaan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah,” sambungnya.
Kemudian terkait pemeriksaan perkara dengan acara cepat, kata Yasonna, sangat penting karena kemudahan berusaha (ease of doing business) bukan hanya dipengaruhi regulasi dan perizinan, tetapi juga waktu tunggu yang dihabiskan dalam menyelesaian perkara di pengadilan.
“Oleh karena itu dalam RUU Hukum Acara Perdata diatur mengenai pemeriksaan perkara dengan acara cepat. Hal ini sesuai dengan salah satu asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yakni peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan,” ucap Guru Besar Ilmu Kriminologi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian tersebut.
“Suatu perkara dapat diperiksa, diadili, dan diputus dengan acara cepat, jika nilai Gugatannya paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah),” ucap Yasonna melanjutkan.
Adapun pemeriksaan dengan acara cepat meliputi perkara: utang piutang yang timbul berdasarkan perjanjian, kerusakan barang yang timbul berdasarkan perjanjian, cedera badan pribadi yang timbul berdasarkan perjanjian, dan pembatalan perjanjian.
Yasonna menuturkan, pemeriksaan perkara dengan acara cepat, pembuktiannya dilakukan dengan cara pembuktian sederhana.
Dalam pembuktian sederhana, terhadap dalil gugatan yang diakui dan/atau tidak dibantah oleh tergugat, tidak perlu dilakukan pembuktian.
Terhadap dalil gugatan yang dibantah, hakim melakukan pemeriksaan pembuktian.
“Pengadilan memutus perkara dengan acara cepat dalam waktu paling lama 30 hari dan Putusan Pengadilan dengan acara cepat tidak dapat diajukan upaya hukum apapun,” ungkap Yasonna.
Menkumham menegaskan, materi Hukum Acara Perdata akan menjangkau hakim, ketua pengadilan, juru sita, panitera, para pihak yang beracara di persidangan perdata, ahli waris, kuasa hukum para pihak, termasuk aparat penegak hukum, maupun masyarakat (termasuk pelaku usaha).
Rancangan Undang-undang tentang Hukum Acara Perdata diarahkan untuk mampu memberikan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi semua pihak, terutama dalam hal menyelesaikan sengketa keperdataan para subyek hukum.
Selain itu juga untuk melindungi hak asasi manusia, mampu memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pelaksanaan hak asasi dan kewajiban.
Peraturan perundang-undangan Hukum Acara Perdata yang ada dan berlaku sampai saat ini tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Peraturan Perundang-undangan Hukum Acara Perdata peninggalan Kolonial Belanda ada 3 jenis: Burgelijke rechts voordering (Brv) adalah untuk golongan Eropa, Het Herziene Indonesische Reglement (HIR) adalah untuk golongan Bumiputra wilayah Jawa dan Madura, Reglement Buitingewesten (Rbg) adalah untuk golongan Bumiputra wilayah luar Jawa dan luar Madura.
Selain itu, masih banyak Peraturan Perundang-undangan produk NKRI termasuk SEMA dan PERMA.