Ada juga produsen yang khusus memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sehingga jika tidak dipasangkan produsen tersebut akan tetap mendapatkan CPO yang mahal, sehingga kapasitas produksi minyak goreng mengalami penurunan.
“Ini terjadi, sederhananya untuk menghindari kerugian,” katanya.
Lalu, ada dugaan munculnya spekulan yang memanfaatkan kondisi disparitas harga yang sangat besar antara HET dengan harga di pasar tradisional yang sulit diintervensi, karena pelakunya yang banyak.
Aktivitas ini memunculkan dugaan adanya penyelundupan minyak goreng.
Ketiga, gagalnya fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan.
Baca juga: Legislator PKS Minta Pemerintah Tak Salah Fokus Atasi Kelangkaan Minyak Goreng
Pasalnya, fungsi pengawasan tidak bisa berhasil dilakukan ketika ada disparitas harga terjadi dengan gap yang sangat besar.
Ombudsman melihat kelangkaan minyak goreng ini disebabkan tingginya disparitas antara harga DPO, HET dengan harga pasar.
Disparitas tersebut berkisar antara Rp 8.000 hingga Rp 9.000.
“Jadi bisa dibayangkan disparitas ini yang tinggi ini memunculkan tadi hal-hal yang menjadi penyebab yang tadi disampaikan sebelumnya," ujarnya.
Ombudsman menyarankan agar pemerintah melindungi kelompok masyarakat miskin dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) dan memantau distribusi pasar.