Karena adanya ultimatum tersebut, Sekutu membagi kota Bandung Utara menjadi wilayah kekuasaan mereka sedangkan Bandung Selatan kekuasaan pemerintah Republik Indonesia.
Selanjutnya ultimatum tersebut dijawab pasukan Indonesia dengan mendirikan pos–pos gerilya di berbagai tempat.
Kemudian bulan Desember terjadi beberapa pertempuran di berbagai tempat antara lain, Cihaurgeulis, Sukajadi, Pasir Kaliki dan Viaduct.
Pihak sekutu berusaha merebut Balai Besar Kereta Api namun usaha tersebut gagal.
Sekutu juga berusaha untuk membebaskan interniran Belanda di Ciater, Sekutu terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Indonesia di wilayah Lengkong Besar.
Setelah itu pada saat memasuki awal tahun 1946, pertempuran semakin berkobar secara sporadis.
Pertempuran berlangsung, banyak serdadu India yang merupakan bagian dari pasukan Sekutu melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Indonesia.
Satu diantara serdadu India yang membelot di antaranya adalah Kapten Mirza dan pasukannya saat terjadi pertempuran di jalan Fokker (sekarang jalan Garuda) pada pertengahan Maret 1946.
Tidak lama setelah itu, pihak Sekutu menghubungi Panglima Divisi III Jenderal A.H Nasution meminta agar pasukan India tersebut diserahkan kembali kepada Sekutu.
Namun Nasution menolaknya, bukan hanya untuk mengembalikan pasukan India semata, tetapi juga untuk mengadakan pertemuan dengan pihak Sekutu.
Serangan sporadis dari pasukan Indonesia dan kegagalan mencari penyelesaian di tingkat daerah menyebabkan posisi Sekutu semakin terdesak.
Sekutu pun akhirnya melakukan pendekatan terhadap pihak petinggi pemerintahan Republik Indonesia.
Tepat pada tanggal 23 Maret 1946, mereka menyampaikan ultimatum kepada Perdana Menteri Syahrir agar selambat – lambatnya pada pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946 pasukan Indonesia sudah meninggalkan Bandung Selatan sejauh 10 sampai 11 kilometer dari pusat kota.
Syahrir pun menanggapi ultimatum tersebut, dengan menugasi Syafruddin Prawiranegara dan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita hadir ke Bandung.