TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar menyebut bahwa ribuan Warga Negara Indonesia (WNI) telah menjadi korban propaganda yang kerap menggunakan narasi agama selama 20 tahun terakhir.
"Mereka berjihad di dalam dan luar negeri untuk perjuangan yang sia-sia," kata Boy Rafli saat melakukan kunjungan kerja ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Selasa (22/3/2022) lalu.
Dalam kunjungannya itu, Boy menemui para tokoh agama dan tokoh adat di Banjarmasin. Mereka kemudian mendeklarasikan Kesiapsiagaan Nasional Cegah Radikalisme Terorisme.
"Deklarasi ini untuk membangkitkan semangat mencegah radikalisme dan terorisme. Tujuannya adalah utuhnya NKRI," kata Boy.
Mantan Kapolda Papua itu mengatakan, kesiapsiagaan nasional merupakan langkah penting di tengah gempuran propaganda radikal terorisme di dunia maya.
Layaknya virus, kata Boy, radikal terorisme di era kemajuan teknologi informasi saat ini menyebar lebih cepat dan menjangkit semua kalangan.
Karena itu ancaman terorisme dan radikalisme harus segera disikapi dengan tegas. Pasalnya sudah banyak kisah anak muda yang memilih bergabung dengan jaringan teror karena berinteraksi di dunia maya.
Sementara saat menghadiri kegiatan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Selatan Bidang Perempuan dan Anak di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Boy menyatakan pentingnya peran perempuan dalam pencegahan terorisme.
Baca juga: Polri Ungkap Peran 5 Terduga Teroris Pendukung-Penyebar Propaganda ISIS yang Dicokok Densus 88
Pasalnya, kaum perempuan dimanfaatkan teroris untuk melakukan aksi teror secara langsung.
Perempuan dalam terorisme memang telah mengalami transformasi.
Perempuan tidak hanya berperan sebagai pendukung, tetapi aktor utama dalam terorisme, mulai dari perekrutan hingga eksekutor.
"Perempuan adalah kelompok rentan yang menjadi korban propaganda radikal terorisme. Terlebih, saat ini propaganda tersebut dengan mudah ditransmisi melalui ruang digital yang berpotensi melahirkan aktor tunggal atau lone-wolf dalam aksi terorisme," terang Boy.
Boy mengacu hasil survei yang dilakukan BNPT tahun 2020 yang menunjukkan indeks potensi radikalisme cenderung lebih tinggi di kalangan perempuan, urban, generasi Z dan milenial, serta mereka yang aktif di internet dan media sosial.
"Episentrum terorisme bergeser ke kaum hawa untuk jadi pelaku bom bunuh diri, agen informasi dan logistik untuk mendukung kegiatan terorisme. Keterlibatan perempuan dan anak ini menjadikan mereka korban," jelasnya.
Karena itu Boy mendorong perempuan menjadi garda terdepan dalam mencegah radikalisme dan terorisme di lingkungan keluarga.