"Tulisan ilmiah tentu saja tidak mungkin untuk sama sekali tidak mengutip sumber pustaka atau referensi dari penulis lain."
"Sudah ada teknik pengutipan (sitasi) yang diajarkan sejak semester satu."
"Sehingga seharusnya teknik kutipan atau sitasi itu sudah 'mendarah daging' dalam diri seorang akademisi," lanjut Sri Hastjarjo.
Lantas, bagaimana cara seseorang dapat mengetahui apakah karya tersebut murni buah pikiran penulis atau hasil dari plagiarisme?
Sri Hastjarjo menjelaskan saat ini telah banyak aplikasi-aplikasi yang berfungsi untuk memeriksa kemurnian suatu karya.
Dicontohkan Sri Hastjarjo, seperti di UNS, universitas-universitas telah sudah menyediakan layanan untuk memeriksa kemiripan naskah ilmiah.
Baca juga: Sekjen Kemendikbudristek: SDM Unggul Lahir dari Pendidikan Berkualitas
"Kemudian, kampus juga sudah menyediakan layanan untuk memeriksa kemiripan naskah ilmiah."
"Misalnya dengan berlangganan software-software untuk memeriksa kemiripan naskah."
"Di UNS misalnya, naskah ilmiah yang akan di-publish harus lolos uji kemiripan."
"(Di mana) maksimal skor kemiripan (antara tulisan orang dengan tulisan si penulis) 25 persen, kalau lebih dari itu, harus ditulis ulang," sambung Sri Hastjarjo.
Melalui kecanggihan inilah, sekarang dapat digunakan untuk mempermudah pengoreksian adanya plagiarisme.
Untuk itu, demi dapat menghindari kasus plagiarisme tersebut, langkah-langkah pengoreksian dengan penggunaan software tersebut juga dapat dijadikan sebagai pilihan.
Sehingga meminimalisir terjadinya plagiarisme yang berujung pada pelanggaran hukum.
"Hal ini dalam rangka mencegah terjadinya plagiarisme."
Baca juga: Diperlukan Langkah Strategis di Sektor Pendidikan agar Segera Atasi Learning Loss