Melalui surat-surat yang ia kirimkan, terlihat jelas bahwa Kartini selalu membaca segala hal dengan penuh perhatian sambil terkadang membuat catatan kecil.
Dalam suratnya, Kartini juga tak jarang menyebut judul sebuah karangan atau hanya mengutip kalimat-kalimat yang pernah ia baca.
Kemudian sebelum Kartini menginjak umur 20 tahun, ia sudah membaca buku-buku seperti De Stille Kraacht milik Louis Coperus, Max Havelaar.
Selain itu Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli, hasil buah pemikiran Van Eeden, roman-feminis yang dikarang oleh Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, dan Die Waffen Nieder yang merupakan roman anti-perang tulisan Berta Von Suttner dan semua buku-buku yang ia baca berbahasa Belanda.
Pada tanggal 12 November 1903, Kartini dipaksa menikah dengan bupati Rembang oleh orangtuanya.
Bupati tersebut bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.
Sebelumnya, ia telah memiliki istri.
Namun, saat itu, istrinya mengetahui suaminya sangat mengerti cita-cita Kartini dan memperbolehkan Kartini membangun sebuah sekolah wanita.
Selama pernikahannya, Kartini hanya memiliki satu anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat.
Sejarah Ditetapkannya Hari Kartini pada 21 April
Mengutip dari kemdikbud.go.id, berikut sejarah ditetapkannya Hari Kartini:
Wafatnya R.A. Kartini tidak serta-merta mengakhiri perjuang R.A.Kartini semasa hidupnya.
Salah satu temannya di Belanda, Mr. J.H. Abendanon yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda mengumpulkan surat-surat yang dulu pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-temannya di Eropa.
Kemudian Abendanon membukukan seluruh surat-surat R.A. Kartini.