Partai ini bahkan tidak memperbolehkan kaum Tionghoa totok, yaitu mereka yang baru berimigrasi dari Cina dan berorientasi pada daratan Cina, menjadi anggotanya.
Pendirian untuk mengedepankan kebangsaan Indonesia terus dipertahankan oleh para tokoh Tionghoa pada masa awal kemerdekaan Indonesia.
Pasca kemerdekaan Indonesia, seruan agar orang Tionghoa menjadi bagian dari bangsa Indonesia dan berpartisipasi aktif dalam membangun negeri ini makin menguat di kalangan para tokoh Tionghoa.
"Seruan tersebut disambut sejumlah besar orang-orang Tionghoa yang sejak berdirinya negeri ini telah memberi sumbangsih bukan hanya di bidang bisnis, seperti stereotip yang dilekatkan pada mereka, tetapi juga pada bidang pendidikan, hukum, bahkan militer," ungkap Herlijanto.
Bahkan semasa pemerintahan Orde Baru pun, tak sedikit tokoh Tionghoa berperan sangat penting dalam bidang seni dan budaya nasional Indonesia.
Baca juga: Mengenal Masjid Lama Gang Bengkok di Medan: Berdiri Tahun 1874, Dibangun Saudagar Tionghoa
Memasuki era Reformasi, seiring dengan makin meningkatnya iklim demokrasi di Indonesia, partisipasi etnik Tionghoa dalam dunia politik, sosial, dan seni budaya pun semakin meningkat.
Terciptanya masyarakat Indonesia yang makin demokratis meningkatkan peluang bagi etnik Tionghoa untuk lebih berperan dalam membangun wajah Indonesia pasca Suharto yang bersifat multikultural dan mengedepankan toleransi antar etnik.
Karenanya, bagi Herlijanto, pertanyaan mengenai loyalitas Tionghoa sejatinya telah usang.
Namun sayangnya, pertanyaan usang tersebut masih sering dilontarkan kembali, khususnya di kalangan masyarakat yang menyebut diri sebagai “Pribumi.”
Dalam pandangan Herlijanto, ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pegiat Tionghoa yang sedang berjuang untuk melawan stereotip yang mempertanyakan semangat keindonesiaan mereka.
Uniknya, kesalahan memahami Tionghoa juga dilakukan oleh pemerintah Republik Rakyat Cina yang dalam satu dasawarsa terakhir memperlihatkan minat mendekati etnik Tionghoa untuk kepentingan diplomasi budaya mereka.
Merujuk pada pernyataan Prof A Dahana, guru besar Sinologi yang turut membidani berdirinya FSI, Herlijanto memandang pentingnya para pemimpin masyarakat Tionghoa menyikapi upaya pendekatan dari Cina tersebut secara bijak, karena ia berpotensi membangkitkan kembali kecurigaan yang telah terlanjur berakar dalam masyarakat “Pribumi.”