Kemudian, terpilihlah dua karya perancang lambang negara terbaik, yaitu karya putra sulung Sultan Pontianak ke-6, Sultan Hamid II dan karya sang pelopor sumpah pemuda, Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H.
Kemudian pada proses selanjutnya rancangan Sultan Hamid II diterima pemerintah dan DPR, sedangkan Karya M. Yamin mengandung unsur pengaruh Jepang yaitu menyertakan sinar-sinar matahari pada rancangannya.
Demi mematangkan dan menyempurnakan konsep rancangan yang telah terpilih, Presiden RIS Ir. Soekarno dan perdana Menteri Mohammad Hatta melakukan dialog intensif dengan Sultan Hamid II, selaku perancang.
Penyempurnaan Lambang Garuda
Kesepakatan terjadi pada perubahan pita yang dicengkeram Garuda.
Perubahan tersebut adalah warna putih polos dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” akan disematkan untuk menggantikan rancangan pita yang sebelumnya berwarna merah putih.
Selanjutnya Sultan Hamid II, selaku perancang sekaligus Menteri Negara RIS, mengajukan rancangannya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 8 Februari 1950.
Rancangan lambang negara ini sempat dikritik oleh Partai Masyumi.
Partai Masyumi mengajukan keberatan karena mengandung sifat mitologis pada gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai.
Sultan Hamid II menerima aspirasi positif ini kemudian menyempurnakan kembali rancangannya menjadi bentuk Rajawali-Garuda Pancasila, yang disingkat Garuda Pancasila.
Presiden Soekarno kemudian memberikan rancangan tersebut melalui Moh. Hatta sebagai perdana menteri, untuk diserahkan kepada Kabinet RIS.
Pada 11 Februari 1950, akhirnya Sidang Kabinet RIS meresmikan rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II.
Presiden Soekarno untuk pertama kalinya memperkenalkan lambang negara, Garuda Pancasila berkepala “gundul”, kepada masyarakat umum di Hotel Des Indes Jakarta.
Namun Soekarno masih terus memperbaiki bentuk Lambang Negara ini, beliau beralasan Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat.