Seperti, Malaysia, Singapura, dan Taiwan. Hanya saja, sampai saat ini penempatan PMI ke beberapa negara tujuan belum bisa dilakukan karena terkendala sejumlah persoalan.
Ia mencontohkan, penempatan PMI ke Taiwan karena belum terbitnya biaya struktur atau cost structur dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
"Ada 30 ribu PMI dengan tujuan penempatan Taiwan mengantre di Sisko P2MI (Sistem Komputerisasi Perlindungan Pekerja Migran Indoensia). Penempatan belum bisa dilakukan karena Kemenaker dan BP2MI belum terbitkan cost structure," kata Ayub.
Sebagai informasi, biaya struktur atau cost structure merupakan keseluruhan biaya bagi seseorang dalam rangka bekerja di luar negeri.
Di antaranya mencakup biaya pelatihan, persyaratan awal, dan biaya jati diri, seperti pengurusan paspor.
Di dalam negeri, biaya struktur menjadi acuan total biaya yang dibebankan kepada pencari kerja, dalam hal ini PMI.
Sementara bagi negara tujuan penempatan, biaya tersebut digunakan sebagai acuan biaya perekurtan pekerja asal Indonesia.
Dalam implementasinya, penetapan biaya struktur dilakukan atas dasar kesepakatan antara negara asal pekerja dengan negara yang menjadi tujuan penempatan.
"Belum keluarnya cost structure ini, membuat Taiwan juga belum bisa menerima PMI," terang Ayub.
Pada kesempatan itu, Ayub juga membeberkan, bahwa penempatan PMI ke Taiwan yang sudah berjalan merupakan program 2020 atau sebelum terjadi pandemi Covid-19, dengan total 86 ribu PMI. Sementara untuk penempatan baru, ujar dia, sampai saat ini masih belum ada.
"Kondisinya stuck bapak. Untuk itu kami datang ke sini (KSP) agar persoalan ini bisa selesai," ucapnya.
Selain persoalan penempatan PMI, Ayub juga menyampaikan tentang pentingnya penegakan hukum terhadap praktik-praktik penempatan Pekerja Migran Indonesia Non Presedural.
Sebab, Apjati menemukan, jumlah penempatan PMI Non Prosedural sangat besar, terutama ke negara-negara di Timur Tengah.
"Satu bulan bisa lima sampai tujuh ribu," jelas Ayub.