Hal tersebut, kata dia, karena tugas atau peran dari kebebasan pers adalah memastikan bahwa segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat atau publik harus diketahui oleh publik.
Kebebasan informasi publik, kata dia, telah diatur dalam UUD 1945, UU Pers, dan UU tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Aturan tersebut, kata dia, intinya publik berhak tahu apapun yang menyangkut kepentingan mereka sebagai publik.
Karena publik tidak punya alat atau tangan untuk itu, lanjut dia, "wewenang tersebut dipinjamkan" kepada pers.
Dengan demikian, kata dia, pers diberi wewenang untuk menjalankan hak publik untuk tahu.
Oleh karena itu, prinsip dasar dari kerja jurnalistik adalah hak publik untuk tahu.
Meskipun pers diberi wewenang yang demikian besar, lanjut dia, pers tidak boleh sewenang-wenang.
Oleh karena itu, di dalam kerja pers diatur kode etik jurnalistik yang mesti dijalankan dan di sisi lain pers diberi wewenang yang sangat besar oleh konstitusi untuk menyampaikan informasi publik.
Penyalahgunaan atau sikap cedera atas kode etik jurnalistik itu, kata dia, dijalankan dan dimediasikan oleh Dewan Pers.
Oleh karena itu, kata dia, kalau ada masyarakat yang keberatan terhadap suatu peliputan pers dan mengadu kepada Dewan Pers, maka dilakukan mediasi dan kepada media massa kemudian diberi ganjaran berupa ganjaran etik.
"Meminta maaf, merevisi berita, menulis ulang sebuah berita dan seterusnya. Jadi kesalahan kata-kata dibalas dengan perbaikan kata-kata, bukan dengan hukuman badan seperti yang kita cemaskan kalah RUU KUHP ini disahkan," kata Arif.
"Saya kira bangunan inilah yang mesti kita sadari bersama-sama, kawan-kawan pers, teman-teman semua, bahwa komunitas pers terancam sangat serius dengan RKUHP ini," lanjut dia.