Hal itu, menurut ICW, berbeda jauh dengan UU tindak pidana khusus lain, seperti UU Narkotika atau UU Anti Pencucian Uang yang dendanya bisa mencapai Rp 10 miliar.
"Berpijak pada latar belakang korupsi sebagai kejahatan ekonomi, mestinya pidana denda dapat ditingkatkan," kata Kurnia.
Kedua, parsial memberatkan hukuman.
Mengutip data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ICW menyebutkan tindak pidana suap mendominasi penanganan perkara di lembaga antirasuah itu selama lebih dari lima belas tahun terakhir (791 perkara).
ICW menilai praktik suap menyuap masih terus merajarela di Indonesia.
Maka dari itu, dikatakan Kurnia, salah satu bentuk evaluasi atas kondisi tersebut dapat ditempuh melalui perbaikan regulasi dalam UU Tipikor.
Baca juga: Dewan Pers Sebut RKUHP Intervensi Sangat Serius Terhadap Kemandirian Pers
"Sebab, bukan tidak mungkin maraknya praktik suap-menyuap dikarenakan sanksi pemidanaan yang terbilang rendah sehingga tidak menghadirkan pemberian efek jera kepada pelaku," katanya.
Hanya saja, menurut ICW, dalam naskah RKUHP, khususnya pasal yang berkaitan dengan pemberi suap, misalnya Pasal 610 ayat (1) masih mengikuti ketentuan lama, tanpa disertai pemberatan, yakni maksimal hanya 3 tahun penjara.
"Ini menandakan pembentuk UU tetap mengikuti pola lama tanpa ada reformulasi yang berorientasi pada pemberian efek jera," ujar Kurnia.
Ketiga, bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
ICW mengkritik aturan soal penghitungan kerugian keuangan negara yang dinilai bertentangan dengan putusan MK.
Pada bagian penjelasan Pasal 607 RKUHP, Kurnia menyampaikan, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “merugikan keuangan negara” adalah berdasarkan hasil pemeriksaan lembaga negara audit keuangan.
"Merujuk pada definisi itu, maka menurut pembentuk UU, pihak yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara hanya Badan Pemeriksa Keuangan," katanya.
"Jelas pembatasan aspek tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012. Bagaimana tidak, Mahkamah dalam pertimbangannya telah menegaskan bahwa aparat penegak hukum bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK saat menghitung kerugian keuangan negara, melainkan juga dengan instansi lain, bahkan juga bisa membuktikan sendiri di luar temuan lembaga negara tersebut," imbuhnya.