Dengan dasar putusan tersebut, ICW melihat RKUHP bertentangan dengan putusan MK.
Keempat, korupsi tidak lagi kejahatan luar biasa.
Dalam banyak literatur, disebutkan ICW, bahwa korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Akibat penyebutan itu, maka ditemukan sejumlah penyimpangan dari regulasi umum, satu di antaranya adalah pengaturan sanksi pidana minimum-maksimum di dalam UU Tipikor.
"Sayangnya, ketentuan itu dihilangkan dari RKUHP, misalnya, Pasal 610 ayat (2) terkait tindak pidana suap. Atas kondisi substansi aturan semacam ini, bukan tidak mungkin hakim dapat memanfaatkan diskresinya secara berlebihan guna menghukum ringan para pelaku," kata Kurnia.
Kelima, mengkriminalisasi kritik masyarakat dalam persidangan perkara korupsi.
ICW menyatakan, proses persidangan perkara korupsi belum banyak memberikan efek jera maksimal kepada pelaku.
Alih-alih menghukum berat, berdasarkan catatan ICW, rata-rata hukuman pelaku pada tahun 2021 hanya 3 tahun 5 bulan penjara.
Belum lagi ditambah dengan sejumlah putusan ganjil, mulai dari Juliari P Batubara, Pinangki Sirna Malasari, Nurhadi, hingga Edhy Prabowo.
Kondisi itu, menurut ICW, memantik kritik masif dari masyarakat yang menginginkan adanya hukuman yang menjerakan pelaku.
"Sayangnya, naskah RKUHP justru ingin mereduksi kritik masyarakat dengan turut menyertakan ancaman pidana. Poin ini tertuang secara jelas dalam Pasal 280 huruf b RKUHP," kata Kurnia.
Jika ketentuan ini diundangkan, ICW menilai bukan tidak mungkin masyarakat yang kemudian melancarkan kritik dapat diproses secara hukum.
Maka dari itu, ICW berkesimpulan bahwa substansi RKUHP bernuansa anti terhadap kritik dan melemahkan aspek partisipasi masyarakat.
"Maka dari itu, berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, ICW mendesak agar pemerintah dan DPR segera mengeluarkan delik-delik korupsi dari RKUHP kemudian merevisi UU Tipikor," kata Kurnia.