Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan suap pembayaran Restitusi Pajak proyek pembangunan jalan tol Solo-Kertosono (Soker) pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Pare, Jawa Timur.
Sebagai pemberi, Tri Atmoko (TA), Kuasa Joint Operation China Road and Bridge Corporation (CRBC), PT Wijaya Karya (WIKA), dan PT Pembangunan Perumahan (PP).
Sebagai penerima, Abdul Rachman (AR), Supervisor Tim Pemeriksa Pajak pada KPP Pare dan Suheri (SHR), swasta.
"Atas hasil pengumpulan informasi dan data dari berbagai sumber terkait dugaan tindak pidana korupsi dimaksud, KPK melakukan penyelidikan dan ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup dan berikutnya KPK meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan," kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (5/8/2022).
Untuk kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik melakukan upaya paksa penahanan pada para tersangka untuk 20 hari pertama, terhitung mulai 5 Agustus 2022 hingga 24 Agustus 2022.
Tri Atmoko ditahan di Rutan KPK pada Pomdam Jaya Guntur, Abdul Rachman ditahan di Rutan KPK pada Kavling C1, sementara Suheri ditahan di Rutan KPK pada gedung Merah Putih.
Dalam konstruksi perkara, disebutkan bahwa Joint Operation (JO) antara China Road and Bridge Corporation, PT WIKA Persero, dan PT PP Persero sebagai pelaksana pembangunan jalan tol Solo Kertosono terdaftar sebagai salah satu wajib pajak di KPP Pratama Pare, Jawa Timur.
Baca juga: KPK Telisik Aktivitas Kedinasan Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak
Asep menjelaskan, sekira Januari 2017, JO CRBC-PT WIKA-PT PP mengajukan adanya restitusi pajak (pengembalian atas kelebihan pembayaran) untuk tahun 2016 ke KPP Pare.
Abdul Rachman selanjutnya ditunjuk sebagai salah satu dari tim pemeriksa dengan posisi supervisor untuk melakukan pemeriksaan restitusi pajak dari JO CRBC-PT WIKA-PT PP dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Kemudian sekira Agustus 2017, KPP Pare menerbitkan surat pemberitahuan pada JO CRBC- PT WIKA-PT PP untuk dilakukan pemeriksaan lapangan oleh tim pemeriksa pajak.
Merespons surat pemberitahuan tersebut, Wen Yuegang selaku Chairman Board of Management JO CRBC-PT WIKA-PT PP menunjuk Tri Atmoko sebagai kuasa untuk mengurus restitusi pajak JO CRBC-PT WIKA-PT PP di KPP Pare.
"Dari keseluruhan restitusi pajak senilai Rp13,2 miliar yang diajukan diduga ada inisiatif TA untuk memberikan sejumlah uang pada AR dan tim agar pengajuan restitusi dapat disetujui," kata Asep.
Asep mengatakan, Abdul Rachman kemudian menyetujui keinginan Tri Atmoko dengan kesepakatan imbalan berupa permintaan fee 10 persen atau setidaknya Rp1 miliar.
Terkait pemberian uang, lanjut Asep, Abdul Rachman kemudian memperkenalkan Suheri selaku orang kepercayaannya pada Tri Atmoko dan meminta Tri agar nantinya penyerahan uang melalui perantaraan Suheri dan tempat penyerahan dilaksanakan di Jakarta.
Selanjutnya sekira Mei 2018, Tri Atmoko menghubungi Abdul Rachman untuk membicarakan kelanjutan penyerahan uang dengan dengan istilah “apelnya kroak”, dimana dari total permintaan Rp1 miliar oleh Abdul, Tri baru bisa menyanggupi senilai Rp895 juta.
"AR sempat meminta dan mengarahkan TA agar penyerahan uang Rp895 juta melalui SHR dilakukan di kantor Pusat Dirjen Pajak, Jakarta namun kemudian berpindah ke salah satu tepi jalan yang berdekatan dengan kantor aparat penegak hukum di wilayah Blok M, Jakarta Selatan dan uang tersebut kemudian diterima AR melalui SHR," ungkap Asep.
Atas perbuatannya, Tri Atmoko sebagai pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Baca juga: KPK Telusuri Aliran Uang Bupati PPU Lewat PT Transwisata Prima Aviation dan Partai Demokrat
Sedangkan, Abdul Rachman dan Suheri sebagai penerima melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.