Bukhori mengungkapkan, BPKH mengelola dana yang dihimpun dari sekitar 5 juta jemaah haji dengan dana kelolaan sekitar Rp170 triliun, dimana nilai manfaat yang diperoleh dari jumlah tersebut nyaris mencapai Rp8 triliun dalam situasi normal, semisal tahun 2019.
“Walaupun demikian, patut digarisbawahi bahwa dana sekitar dari Rp8 triliun tersebut bukan semata-mata hak jemaah yang berangkat tahun ini, melainkan hak semua jemaah haji yang telah menyetorkan dananya yang jumlahnya sekitar 5 juta itu,” ucapnya.
Selanjutnya, kata Bukhori melanjutkan, yang menjadi kekhawatiran kami adalah apabila Arab Saudi kemudian memberikan kita kuota tambahan, dengan kebijakan biaya perjalanan ibadah haji (bipih) yang masih bertumpu pada subsidi hingga lebih dari 50 persen, konsekuensinya BPKH akan dituntut untuk menutupi biaya dua kali lipat untuk sekali perjalanan.
“Artinya, jika nilai manfaat yang diperoleh adalah Rp8 triliun, maka itu akan habis pakai untuk sekali musim. Kemudian jika Saudi menaikan kuota hingga 100 persen, maka sekitar Rp16 triliun akan habis hanya untuk menutupi biaya haji dikarenakan operasional haji diperkirakan memakan biaya Rp16 untuk sekali musim,” paparnya.
Dengan demikian, apabila demi menutupi penyelenggaraan haji untuk sekali musim membutuhkan Rp16 triliun, lanjutnya, pertanyaannya adalah bagaimana memperoleh tambahan Rp 8 triliun lainnya mengingat perolehan nilai manfaat yang sekitar Rp 8 triliun selama ini didapat dengan cara investasi, yang kami nilai lebih banyak dilakukan secara konvensional.
Anggota Badan Legislasi ini menambahkan, apabila strategi investasi yang dilakukan BPKH hanya melalui penempatan, pihaknya khawatir cara tersebut tidak akan mampu menjaga sustainabilitas keuangan haji.
Dia mengatakan, undang-undang pengelolaan keuangan haji mendorong BPKH untuk melakukan investasi langsung, akan tetapi dalam praktiknya BPKH belum mampu untuk memperbanyak investasi langsung.
"Mungkin karena risiko, atau karena BPKH masih tergolong lembaga baru yang lahir pada tahun 2017, jadi belum terlalu lama. Karena itu, investasinya kebanyakan hanya di penempatan. Sedangkan, jika hanya di penempatan, keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari 6 atau 7 persen per tahun. Ini tidak akan bisa menutupi kekurangan setoran jamaah terhadap biaya riilnya," ujarnya.
Selain itu, Bukhori menyarankan supaya ke depan, pembagian dana nilai manfaat kepada jemaah yang melalui Virtual Account (VA) dapat mencerminkan pembagian yang lebih riil.
“Contohnya, sepanjang tahun 2020 dana VA dialokasikan sebanyak Rp2 triliun, selanjutnya pada tahun 2021 senilai Rp2,5 triliun. Walaupun masing-masing jemaah haji sama-sama menyimpan uang Rp35 juta, semestinya kebijakannya adalah jemaah haji yang dananya paling lama terendap, nilai manfaat yang diperolehnya semakin besar. Tidak hanya itu, supaya jemaah haji merasakan dampak riil keuntungan dari investasi, maka nilai manfaat yang tersimpan di VA sudah semestinya diberikan dalam bentuk riilnya," katanya.
Tidak cukup sampai di situ, Bukhori juga menyinggung soal koreksi yang juga diperlukan terhadap penggunaan istilah subsidi dalam konteks penyelenggaraan haji.
“Penggunaan istilah subsidi juga perlu dikaji ulang. Pasalnya, sumber dana yang disebut subsidi selama ini sesungguhnya berasal dari dana milik jemaah haji yang dititipkan kepada BPKH untuk dikelola sehingga menghasilkan nilai manfaat. Sebab itu, istilah yang sebenarnya lebih memadai adalah distribusi nilai manfaat, bukan subsidi,” pungkasnya.