Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap peran Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei dalam perkara dugaan korupsi pemberian izin ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya, termasuk minyak goreng.
Dalam dakwaan, Lin Che Wei diduga berperan aktif terkait kebijakan ekspor CPO.
Bahkan rekomendasinya diduga didengar dan diterima Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi saat itu.
Lin Che Wei disebut turut terlibat dalam setiap rapat penting membahas soal distribusi minyak goreng.
Bahkan, ia juga diduga turut menentukan arah kebijakan ekspor CPO.
Padahal, Lin Che Wei tak memiliki kewenangan bahkan surat tugas dalam posisinya tersebut.
Baca juga: Eks Dirjen Kemendag dan Lin Che Wei Hadapi Dakwaan Jaksa di Kasus Korupsi Minyak Goreng Hari Ini
Dalam dakwaan, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei disebutkan sebagai Penasihat Kebijakan/Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) dan selaku Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia.
Ia kemudian dihubungi Lutfi untuk menanyakan soal posisinya di Kemenko Perekonomian.
Lin Che Wei menyampaikan bahwa dia memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas sebagai analis industri kelapa sawit.
"Terdakwa Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei tidak pernah mendapatkan penugasan/penunjukan sebagai advisor atau sebagai analis pada Kementerian Perdagangan," kata jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (31/8/2022).
Baca juga: Lin Che Wei Akan Didakwa Rugikan Negara Rp 18 Triliun Terkait Kasus Korupsi Minyak Goreng
Namun, ia diikutkan dalam pembahasan kelangkaan minyak goreng yang dilakukan Kementerian Perdagangan.
Menurut jaksa, pelibatan itu berdasarkan hubungan pertemanan saja.
"Dan untuk itu ia tidak memperoleh fee dari bantuan yang diberikan tersebut karena sejak awal tidak memiliki kontrak kerja maupun MoU dengan Kementerian Perdagangan," kata jaksa.
Masih merujuk dakwaan, Lin Che Wei mempunyai lembaga konsultan bernama IRAI (Independent Research & Advisory Indonesia) selaku founder.
Lembaga itu pernah menjadi advisor sejumlah perusahaan yang terkait bisnis sawit dan minyak goreng.
Perusahaan-perusahaan itu yang juga kemudian mengajukan permohonan persetujuan ekspor.
Ada tiga poin utama peran Lin Che Wei dalam perbuatan ini, yakni;
1. Menggunakan jabatannya sebagai tim Asistensi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk bertindak seolah-olah sebagai pejabat yang mempunyai otoritas dalam penerbitan Persetujuan Ekspor dengan memberikan rekomendasi Persetujuan Ekspor CPO dan produk turunannya yang diajukan oleh pelaku usaha.
Baca juga: Komisi VI DPR Minta Kejagung Bongkar Koruptor Ekspor CPO Usai Lin Che Wei Jadi Tersangka
"Padahal mengetahui bahwa kewajiban realisasi DMO (Domestic Market Obligation) sebagaimana yang dipersyaratkan tidak dipenuhi yang berakibat minyak goreng di pasar dalam negeri mengalami kelangkaan," kata jaksa.
2. Mengusulkan agar syarat persetujuan ekspor berupa pemenuhan realisasi kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) yang telah ditetapkan dalam Permendag Nomor 8 Tahun 2022 diubah atau dikembalikan seperti pengaturan dalam Permendag Nomor 2 Tahun 2022 yang hanya mensyaratkan pemenuhan rencana distribusi dalam negeri bagi pelaku usaha untuk mendapatkan persetujuan ekspor.
Selanjutnya, menjalankan skema komitmen (pledge) bagi pelaku usaha yang sifatnya sukarela bagi pelaku usaha untuk mendistribusikan minyak goreng dalam negeri padahal kewajiban distribusi minyak goreng dalam negeri telah diatur secara tegas bahwa kewajiban Realisasi DMO sebesar 20 persen untuk persetujuan ekspor yang dibuktikan dengan melampirkan kontrak penjualan dalam negeri, PO, DO, dan faktur pajak sebagaimana diatur dalam Permendag 08 Tahun 2022 dan Turunannya dalam Kepmendag No 127 Tahun 2022.
Baca juga: Jadi Tersangka, Lin Che Wei Sudah Tak Aktif di Tim Asistensi Kemenko Perekonomian
3. Merancang, mengolah, dan membuat analisis realisasi komitmen (pledge) dari pelaku usaha yang tidak menggambarkan kondisi pemenuhan kewajiban DMO yang sebenarnya, yang dijadikan dasar oleh Indrasari Wisnu Wardhana dalam penerbitan permohonan persetujuan ekspor CPO dan turunannya.
Dalam dakwaan, Lin disebut sempat mengusulkan adanya diskresi Mendag mengenai besaran DMO 20 persen.
Pengecualian yang diusulkan ke Mendag, berupa joint konsorsium dan kebun berkewajiban untuk menyuplai CPO sesuai luasan lahan.
Usulan itu pun diterimaoleh Mendag Muhammad Lutfi.
Pembahasan itu diduga terjadi dalam rapat pada 14 Januari 2022 melalui zoom.
Rapat dihadiri oleh Lutfi selaku Mendag, Indra Sari selaku Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Tim Kemendag, serta Lin Che Wei.
“Saya nggak akan bunyikan angka 20 persen pak, kan kita yang potong, kita kasih tahu lisan saja pak, kalau tulis jadi masalah kita nanti,” begitu kata Indra Sari saat pertemuan.
Hasilnya, dalam rapat tersebut salah satu poin yang disepakati adalah tidak dimasukkannya DMO 20 persen secara tegas dalam kebijakan yang akan diundangkan dan besaran DMO 20 persen atau diskresi menteri perdagangan melalu konsorsium.
Setelah pertemuan Lin Che Wei itu, Mendag kemudian mengeluarkan Permendag Nomor 2 Tahun 2022 tentang perubahan atas peraturan Menteri Perdagangan nomor 19 tahun 2021 tentang kebijakan dan pengaturan ekspor.
Isinya, mensyaratkan eksportir CPO melampirkan surat pernyataan mandiri bahwa telah menyalurkan CPO, RBD palm olein dan used cooking oil untuk kebutuhan dalam negeri yang dilampirkan dengan kontrak penjualan. Syarat itu saja untuk dapatkan izin ekspor CPO.
Pengusaha bertanya soal syarat dalam permendag tersebut. Hal tersebut diterjemahkan oleh Indra Sari yakni: Kewajiban para eksportir untuk mendistribusikan 20 persen CPO dan RBD Palm Olein ke dalam negeri yang dibuktikan dengan faktur pajak, PO, dan DO.
Berdasarkan Permendag nomor 2 Tahun 2022 itu, pada 4 Februari sampai 9 Februari, Kemendag mendapatkan permohonan persetujuan ekspor dengan total 41.314.800 kg.
Atas pengajuan itu, maka jumlah DMO 20 persen yang seharusnya direalisasikan yakni 8,2 juta kg.
Perusahaan yang mengajukan permohonan ekspor tersebut yakni PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Agro Makmur Raya, PT Wira Inno Mas, dan PT Mikie Oleo Nabati Idustri.
"Pada kenyataannya, jumlah realisasi DMO yang dilaporkan oleh perusahaan tersebut untuk mendapatkan persetujuan ekspor tidak terpenuhi yang mengakibatkan minyak goreng di pasar dalam negeri masih mengalami kelangkaan tersebut," kata jaksa.
Dengan tak kunjung baiknya kondisi pasar minyak goreng dalam negeri, Mendag kembali mengeluarkan peraturan Nomor 8 Tahun 2022.
Isinya, untuk pemenuhan DMO kembali merujuk pada 2 keputusan menteri, yakni:
Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 129/2022: Jumlah untuk kebutuhan distribusi kebutuhan dalam negeri sebesar 20% untuk CPO dan/atau refined, bleached adn deodorized palm olein dari volume ekspor.
Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 170 Tahun 2022: Jumlah untuk distribusi kebutuhan dalam negeri sebesar 30 persen untuk CPO.
Setelah Permendag nomor 8 tahun 2022 itu berlaku, Lin berkomunikasi dengan Lutfi dan menyatakan bahwa terjadi keresahan dari para pelaku usaha dengan diberlakukannya Permendag No. 08 Tahun 2022.
Lin pun menyatakan keinginannya untuk merevisi Permendag tersebut dengan alasan untuk menyempurnakan kekurangan Permendag itu.
Sejak Permendag itu dikeluarkan, Lin aktif melakukan serangkaian zoom meeting.
Merujuk yang tertulis dalam dakwaan, Lin hampir setiap hari, dari tanggal 10-17 Februari 2022, mengadakan pertemuan virtual dengan pihak Kemendag dan para pengusaha.
Dalam beberapa kesempatan zoom meeting, tersebut Lin mengusulkan analisis-analisis yang disodorkan ke Mendag dan selalu dipenuhi.
Salah satunya adalah program komitmen atau pledge untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri.
Di sisi lain, Indra Sari diduga tetap memberikan Persetujuan Ekspor meski realisasi distribusi dalam negeri tidak terpenuhi.
Lin Che Wei diduga tetap membuat analisis realisasi komitmen (pledge) dari pelaku usaha yang dijadikan dasar Indra Sari menerbitkan Persetujuan Ekspor.
"Meskipun kenyataannya tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya karena sebenarnya minyak goreng di pasar dalam negeri masih terjadi kelangkaan dan jika pun ada, harga minyak goreng mahal berada di atas angka HET yang ditetapkan Pemerintah," kata jaksa.
Dalam kasus ini, Lin Che Wei didakwa bersama-sama dengan sejumlah pihak di antaranya Indrasari Wisnu Wardhana selalu Direktur Jenderal Perdagangan Luar (Dirjen Daglu) Kementerian Perdagangan; Master Parulia Tumanggor selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia; Stanley MA, senior Manager Corporate Affair PT.Victorindo Alam Lestari; serta Pierre Togar Sitanggang selaku General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas.
Perbuatan Lin Che Wei dkk disebut memperkaya sejumlah pihak.
Pertama, perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Group Wilmar (PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Ultimas Nabati Sulawesi, PT Wilmar Bioenergi) yang diduga mendapat keuntungan hingga Rp 1,6 triliun.
Kedua, perusahaan yang tergabung dalam Grup Musim Mas (PT Musim Mas, PT Musim Mas - Fuji, PT Intibenua Perkasatama, PT. Agro Makmur Raya, PT.Megasurya Mas, serta PT. Wira Inno Mas, mendapat keuntungan seluruhnya Rp 626,6 miliar.
Ketiga, Grup Permata Hijau (dari PT Permata Hijau Palm Oleo, PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Permata Hijau Sawit, dan PT Pelita Agung Agrindustri) memperoleh keuntungan seluruhnya mencapai Rp 124,4 miliar.
Perbuatan ini disebut merugikan keuangan negara hingga Rp 6 triliun serta merugikan perekonomian negara mencapai Rp 12,3 triliun.
Sehingga, totalnya mencapai Rp 18 triliun.
Menurut jaksa, kerugian keuangan negara tersebut merupakan akibat langsung dari terjadinya penyimpangan dalam bentuk penyalahgunaan fasilitas PE produk CPO dan turunannya.
Yakni dengan memanipulasi pemenuhan persyaratan DMO/DPO.
Dengan tidak disalurkannya DMO, negara kemudian harus mengeluarkan dana BLT dalam rangka mengurangi beban rakyat selaku konsumen.
Kerugian keuangan negara tersebut mencakup beban yang terpaksa ditanggung pemerintah dalam bentuk penyaluran BLT Tambahan Khusus Minyak Goreng untuk meminimalisasi beban 20,5 juta rumah tangga yang tidak mampu akibat kelangkaan minyak goreng.
Atas perbuatannya, Lin didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.