Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyoroti pembebasan bersyarat terhadap 23 napi korupsi yang diputuskan dalam surat keputusan secara bersamaan pada Rabu (6/9/2022).
Beberapa nama napi korupsi itu merupakan mereka yang terlibat dalam kasus-kasus yang disorot masyarakat, satu di antaranya Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus red notice Joko Tjandra.
Terkait hal tersebut, Koordinator MAKI Boyamin Saiman menyatakan kekecewaannya.
Dirinya menilai, dengan keputusan ini menciptakan pesan tidak ada efek jera kepada masyarakat terhadap kasus korupsi
"MAKI menyatakan kecewa dengan banyaknya remisi dan bebas bersyarat untuk napi koruptor karena apa? Ini menjadikan pesan kepada masyarakat bahwa korupsi itu tidak berefek hukum yang menakutkan," kata Boyamin kepada Tribunnews.com, Rabu (7/9/2022).
Baca juga: Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Pasar Butung Mangkir Panggilan Jaksa, MAKI: Praperadilan Bukan Alasan
Boyamin mengungkapkan, efek jera itu tidak akan dirasakan karena menurut dia, dalam beberapa kasus korupsi kerap kali hukuman vonisnya tidak berat.
Bahkan, saat menjalani masa tahanan, para koruptor tersebut mendapatkan beragam potongan tahanan badan yang kerap kali disebut remisi.
"Hukumannya sudah ringan kemudian dapat keringanan-keringanan bahkan bebas bersyarat yang sebelumnya dipotong remisi," ucap Boyamin.
Dirinya lantas menyoroti mekanisme pemberian syarat pembebasan bersyarat yang diatur dalam undang-undang pemasyarakatan.
Kata dia, ada ketentuan yang seharusnya dievaluasi lebih jauh terkait dengan beleid tersebut, khususnya terkait pemberian bebas bersyarat.
Di mana dalam peraturan itu kata dia, tertuang kalau pemberian bebas bersyarat ditetapkan pada 2/3 masa tahanan setelah napi koruptor diberikan potongan remisi.
Padahal menurut dia, pemberian ketentuan pembebas bersyarat itu harusnya dihitung dari massa tahanan napi sejak vonis berkekuatan hukum tetap atau incraht.
"Jadi misalnya, ini (kasus hukuman, red) 6 tahun, 2/3 nya kan mestinya kan 4 tahun, nah selama ini cara menghitungnya dipotong dulu remisi satu tahun (dari vonis 6 tahun, red) sehingga tinggal 5 tahun, jadi 2/3 nya tinggal 3 tahunan lebih dikit gitu, itu cara menghitung yang salah," ungkap dia.