Profesor psikologi sosial terapan dari Universitas Portsmouth, Aldert Vrij mengatakan tidak ada teori yang bisa menjelaskan terkait penentuan hasil orang yang diperiksa melakukan kebohongan atau tidak.
"Idenya adalah pembohong akan memperlihatkan peningkatan kecemasan ketika ditanya pertanyaan kunci ketika orang yang berkata jujur tidak merasakannya," katanya.
Van der Zee mengatakan orang yang diperiksa dengan menggunaakan alat lie detector berpotensi akan mengalami stres.
Cara ini, katanya, terkadang membuat orang yang tidak bersalah justru menjadi bersalah.
"Orang akan diwawancarai dengan alat lie detector akan merasakan stres. Sementara alat lie detector ini sangat baik untuk mengidentifikasi kebohongan."
"Namun tidak cukup baik untuk mengidentifikasi kejujuran," jelas Van der Zee.
Hanya saja, Gubrin mengatakan ada beberapa alasan berbeda terkait alasan penggunaan alat lie detector tidak akurat.
Baca juga: Tes Lie Detector Terhadap Bharada E, Bripka RR, dan Kuat Maruf Tunjukkan Jujur
Alasan itu termasuk pertanyaan yang dibuat sangat buruk dan pewawancara salah dalam membaca hasil.
"Jika pewawancara terlatih, persiapan tes dilakukan dengan baik, dan kualitas kontrol dipersiapkan dengan baik pula, maka akurasi hasilnya diperkirakan diantara 80-90 persen," katanya.
Namun, Gubrin mengatakan bahwa menanyai korban justru akan menimbulkan masalah berbeda.
"Menanyai korban adalah hal yang berbeda karena apa yang akan ditanyakan kepadanya sejatinya Anda akan melihat banyaknya gairah saat menjawab," ikarmua/
Ini artinya korban khususnya yang menceritakan kembali pengalaman traumatik mungkin juga akan berbohong karena dirinya dalam kondisi emosionali.
Kesimpulannya, para ahli mengatakan masih banyak kekurangan terkait penggunaan lie detector.
Selain itu masih banyak pula faktor-faktor berbeda yang membuat hasil pemeriksaan menjadi tidak akurat.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Igman Ibrahim)
Artikel lain terkait Polisi Tembak Polisi